PEMERIKSAAN ENTEROBIASIS PADA
SISWA SEKOLAH DASAR NEGERI II PUTAT KIDUL KEC. GONDANGLEGI KAB. MALANG
PADA BULAN AGUSTUS TAHUN 2011
Oleh
Siti Zulaikah
Dosen Analis Kesehatan Akademi Analis Kesehatan Malang
INTISARI
Cacing
Enterobius vermicularis menyebabkan infeksi cacing kremi yang disebut
juga Enterobiasis atau Oxyuriasis.
Infeksi ini biasanya
terjadi melalui 2 tahap. Pertama, telur cacing pindah dari daerah sekitar anus penderita ke pakaian, seprei
atau mainan. Kemudian melalui jari-jari tangan, telur cacing pindah ke mulut anak yang lainnya dan akhirnya
tertelan. Telur cacing juga dapat terhirup dari udara kemudian tertelan. Setelah telur cacing tertelan, lalu larvanya menetas di dalam usus
kecil dan tumbuh
menjadi cacing dewasa di dalam usus
besar. Cacing dewasa betina bergerak ke daerah
di sekitar anus
(biasanya pada malam hari) untuk menyimpan telurnya di dalam lipatan kulit anus
penderita. Tujuan penelitian ini
untuk membuktikan
apakah terdapat penyakit infeksi Enterobiasis yang disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis pada beberapa
siswa Sekolah Dasar Negeri Putat Kidul II yang dilakukan secara acak dari kelas
1 sampai dengan kelas 6. Metode pemeriksaan yang digunakan adalah “adhesive cellophane tape” yang kemudian
dilakukan pemeriksaan dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10/45 dan menggunakan
metode penelitian deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan Enterobiasis
pada siswa Sekolah Dasar Negeri Putat Kidul II, dari 50
sampel yang diperiksa secara
acak didapatkan 14 siswa yang positif Enterobiasis, dimana 6 anak dari
siswa kelas 1, 3 dari siswa kelas 2, 2 dari siswa kelas 3, 2 dari siswa kelas
4, dan 1 dari siswa kelas 5.
Jika di hitung prosentasenya maka didapatkan 28% anak yang positif terinfeksi Enterobiasis dan 72% anak yang negatif
atau tidak terinfeksi Enterobiasis.
Kata kunci: Enterobius
vermicularis, Swap anal,
Anak-anak
PENDAHULUAN
Latar
belakang
Masalah kesehatan yang sampai sekarang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia
salah satunya adalah penyakit yang disebakan oleh parasit cacing usus (Viqar et al, 2008). Parasit cacing usus ini
mempunyai macam-macam cara penularan, cara penularan cacing usus digolongkan
menjadi tiga tipe, yaitu: tipe langsung, modifikasi tipe langsung, dan
penetrasi kulit. Adapun cara penularan yang tipe langsung yaitu cara
penularannya melalui autoinfeksi dan retroinfeksi. Diantara nematoda usus yang penularannya
tergolong tipe langsung tetapi banyak ditemukan adalah E. Vermicularis (Indan, 2003), yang nama lainnya adalah Oxyuris vermicularis, Ascaris vermicularis,
cacing kremi, pinworn. (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 1989)
Manusia bisa terinfeksi cacing ini apabila menelan telur infektif, telur
akan menetas di dalam usus (daerah sekum) dan kemudian akan berkembang menjadi
cacing dewasa. Cacing betina biasanya memerlukan waktu kira-kira 1 bulan untuk
menjadi matur dan mulai dengan produksi telurnya. Setelah membuahi cacing
betina, cacing jantan biasanya mati dan mungkin akan keluar bersama tinja. Di
dalam cacing betina yang gravid, hampir seluruh tubuhnya dipenuhi oleh telur.
Pada saat ini, cacing betina akan turun ke bagian bawah kolon dan keluar
melalui anus, telur-telur akan diletakkan di perianal dan di kulit perineum (
Lynne et al, 1996).
Sedangkan untuk diagnosis infeksi ini, kadang-kadang cacing dewasa dapat di
ambil dengan pita perekat. Meskipun telur biasanya tidak diletakkan di dalam
usus, tetapi beberapa telur dapat ditemukan di dalam tinja. Telur tersebut
menjadi matang dan infektif dalam waktu beberapa jam. Telur-telur tersebut
digambarkan sebagai bola tangan dengan bentuknya yang lonjong dan satu sisi mendatar
(Lynne et al, 1996).
Meskipun beberapa obat sangat efektif untuk membasmi cacing ini, akan
tetapi pengobatan sangat jarang diberikan sebab kebanyakan infeksi ini tidak
menunjukan gejala. Dalam pengobatan, seringkali juga di dalamnya termasuk bimbingan
dan nasehat kepada orang tua yang tidak menyangka bahwa anaknya menderita
cacingan. Kebanyakan orang tua tidak menyadari prevalensi dari infeksi ini,
terutama pada anak-anak, dan kenyataannya bahwa banyak anak-anak yang
terinfeksi cacing ini tetapi tidak menunjukan gejala atau menderita akibat
infeksi ini (Lynne et al, 1996).
Selain itu jika dilihat dari kerugianya Enterobiasis tidak menimbulkan kerugian
secara materi akan tetapi cenderung membuat anak rewel dan sukar tidur atau
insomnia, sehingga membuat para orang tua binggung dan menjadi kurang istirahat
di malam hari akibat insomnia yang terjadi pada anak mereka, dimana keadaan ini
juga menyebabkan gangguan tumbuh kembang pada anak (Pusat Pendidikan Tenaga
Kesehatan, 1989).
Karena infeksi ini umum terjadi dan penularanya sangat mudah, di antaranya
dapat melalui kontaminasi dari anus ke mulut, pakaian yang kotor, telur-telur
yang berada di udara, mainan anak-anak dan benda lainnya, maka dibutuhkan
peningkatan kesehatan perorangan dan kelompok untuk dapat membantu pencegahan
infeksi cacing E. vermicularis ini.
Juga dianjurkan pada anak-anak untuk tidur dengan pakaian tertutup dan menjaga
kuku tetap pendek dan bersih (Lynne et al,
1996).
Tinjauan
Pustaka
Definisi Enterobius vermicularis
Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk ke tubuh melalui makanan,
pakaian, bantal, sprai serta inhalasi debu yang mengandung telur yang kemudian
akan bersarang di usus dan akan dihancurkan oleh enzim usus, telur yang lolos
akan berkembang menjadi larva dewasa (Dep. Kes RI, 1989).
Nama umum yang dipakai untuk
cacing ini ada banyak, seperti Enterobius
vermicularis, Pinworm, Buttworm, Seatworm, Threadworm, dan dalam bahasa
indonesia disebut Cacing Kremi. Kemudian penyakit yang ditimbulkannya disebut Oxyuriasis atau Enterobiasis (Bernadus,
2007).
Klasifikasi Enterobius vermicularis:
Phylum : Nematoda
Kelas : Plasmidia
Ordo : Rhabditia
Genus : Enterobius
Spesies : Enterobius vermicularis (Bernardus, 2007)
Kelas : Plasmidia
Ordo : Rhabditia
Genus : Enterobius
Spesies : Enterobius vermicularis (Bernardus, 2007)
Morfologi
1 Telur Enterobius
vermicularis
Telur Enterobius vermicularis planconvex, berdinding dua lapis. Lapisan luar terdiri dari albumin
dan lapisan dala mengandung bahan lipiodal. Kandungan albumin pada telur
menyebabkan telur tadi merangsang kulit dan mukosa manusia, sehingga sewaktu
dideposit di perianal sering menimbulkan perasaan gatal. Ukuran telur 50-60
mikron x 3,0-3,2 mikron (Bernadus, 2007). Telur berisi masa bergranula
kecil-kecil teratur atau berisi larva cacing yang melingkar. Telur tidak
berwarna dan transparan. Telur berembrio merupakan bentuk infektif. Di daerah
perianal telur dapat menetas dan larva yang ditetaskan dapat masuk kembali ke
usus besar melalui anus atau retroinfeksi (Heru, 2003).
2.Cacing
Dewasa
Cacing
Enterobius vermicularis dewasa
berukuran keci dan berwarna putih. Cacing betina jauh lebih besar daripada
jantan (Heru, 1996). Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,3-0,5 mm.
Intestinumnya berakhir di anus yang terletak 1/3 bagian badannya, sedangkan
vulvanya terletak di pertengahan bagian anteriornya badan. Uterus biasanya
penuh dengan telur. Sedangkan cacing jantan dewasa berukuran 2-5 mm x 0,1-0,2
mm. Esofagus pada cacing jantan melanjutkan diri sebagai intestinum berakhir di
kloaka (Bernadus, 2007). Cacing jantan juga jarang dijumpai karena sesudah
mengadakan kopulasi dengan betinanya ia segera mati (Pusat Pendidikan Tenaga
Kesehatan, 1989).
Gambar 2. Enterobius
vermicularis Betina (http://www.virtualpediatrichospital.org/patient.cqqa/pinworm.shtml, 2010)
|
Gambar 3. Enterobius
vermicularis Jantan (http://www.britannica.com.sg/zoologi/pinworm-375316.html, 2010)
|
Distribusi
Geografis
Cacing
ini terdapat di seluruh dunia, tetapi paling prevalen di daerah iklim sedang
dan tropis. Namun, dengan makin banyaknya dijual bebas obat cacing, maka
prevalensinya mulai menurun. Di negara yang berkembang seperti di Amerika dan
Eropa, cacing ini dianggap paling prevalen dibandingkan dengan prevalensi
cacing-cacing lain, sebab pada musim dingin kebanyakan orang berpakaian tebal
yang menyebabkan suhu dalam pakaian sangat ideal bagi kehidupan cacing ini
(Bernadus, 2007).
Cacing ini sebagian besar
menginfeksi anak-anak, meski tak sedikit orang dewasa terinfeksi cacing
tersebut. Meskipun penyakit ini banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah,
pasien rumah sakit jiwa, anak panti asuhan, tak jarang mereka dari golongan
ekonomi yang lebih mapan juga terinfeksi (Viqar
and Mary, 2008)
Epidemiologi
Pada cacing E. vermicularis ini tidak dikenal adanya
reservoir host, jadi anjing dan kucing bukan merupakan ancaman dalam hal
penularan penyakit infeksi akibat cacing E.
vermicularis ini. Penularan biasanya dari tangan ke mulut atau melalui
makanan, minuman dan debu (Bernardus, 2007)
Cara
penularan Enterobius vermicularis dapat
melalui tiga jalan:
1.
Penularan
dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infeksi) atau pada orang lain
sesudah memegang benda yang tercemar telur infektif misalnya alas tempat tidur
atau pakaian dalam penderita.
2. Melalui
pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur yang infektif.
3. Penularan
secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada penderita sendiri. Oleh
karena larva yang menetas di daerah perianal mengadakan migrasi kembali ke usus
penderita dan tumbuh menjadi cacing dewasa (Dep. Kes RI, 1989).
Patomekanisme
Terjadinya Infeksi Enterobiasis
Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif dari parasit Enterobius vermicularis ini, adapun
perjalanan penyakit dari parasit Enterobius
vermicularis ini adalah sebagai berikut:
1. Cacing
betina gravit keluar dan turun dari rektum untuk meletakkan telurnya di daerah
sekitar perianal.
2. Tangan
yang tanpa sengaja menyentuh daerah anus atau tangan yang kurang bersih yang
telah digunakan membasuh anus saat buang air besar. Kemudian digunakan untuk
makan atau memegang makanan dan benda lain, maka larva telur infektif dari
cacing Enterobius vermicularis
menjadi semakin menyebar dan menginfeksi manusia disekitarnya.
3.
Larva cacing Enterobius
vermicularis masuk kedalam tubuh melalui makanan atau tangan yang
terkontaminasi.
4.
Larva telur Enterobius
vermicularis masuk kedalam usus manusia dan menetas didalamnya (di sekum).
Kemudian berkembang menjadi larva dewasa yang dapat bertahan hidup antara 2-3
bulan didalam tubuh manusia.
5.
Didalam usus kepala cacing direkatkan pada mukosa usus,
hal ini dapat menimbulkan peradangan ringan oleh karena perlekatan tersebut
merupakan iritasi mekanis dan akan memberikan gejala klinis seperti nyeri perut atau diare (Pusat Pendidikan
Tenaga Kesehatan, 1989)
Gambar 4. Perjalanan Infeksi
Cacing Enterobius
vermicularis (http://galaktosa.blokspot.com/2010_05_01_archive.html, 2010)
|
Gambar
5. Cacing Enterobius vermicularis
saat berada dalam usus manusia atau
|
Siklus
Hidup Enterobius vermicularis
Gambar
6. Siklus hidup Cacing Enterobius
vermicularis (http://hermanypk.blogspot.com/2010_03_01_archive.html,
diakses 18-11-2010)
|
Cacing betina dewasa yang telah dibuahi akan mulai
bermigrasi ke anus untuk bertelur. Telur yang dihasilkan oleh cacing betina
desawa per hari sekitar 11.000 butir yang diletakkan di daerah perianal. Telur
tersebut akan menjadi infeksius setelah berumur 6 jam. Telur yang infeksius ini
biasanya mengandung protein yang mudah mengiritasi dan mudah lengket baik pada
rambut, kulit atau pakaian. Telur akan tinggal disitu sampai 2-6 minggu
(Bernadus, 2007).
Telur yang tertelan dan masuk kedalam tubuh manusia akan
menetas didalam usus (daerah sekum) dan kemudian akan berkembang menjadi cacing
dewasa. Cacing betina mungkin memerlukan waktu kira-kira 1 bulan untuk menjadi
matur dan mulai dengan produksi telurnya. Setelah membuahi cacing betina,
cacing jantan biasanya mati dan mungkin akan keluar bersama tinja. Didalam
cacing betina yang gravid, hampir seluruh tubuhnya dipenuhi oleh telur. Pada
saat ini cacing betina akan turun kebagian bawah kolon dan keluar dari anus
untuk meletakkan telurnya didaerah perianal, dan siklus kembali berputar lagi
(Lynne et al, 1996).
Telur cacing Enterobius
vermicularis yang diletakkan di perianal akan menjadi infek menetas di dalam usus (daerah sekum) dan
kemudian akan berkembang menjadi dewasa. Cacing betina mungkin memerlukan waktu
kira-kira 1 bulan untuk menjadi matur dan mulai dengan produksi telurnya.
Setelah membuahi cacing betina, cacing jantan akan mati dan mungkin akan keluar
bersama tinja. Di dalam cacing betina yang gravid, hampir seluruh tubuhnya
dipenuhi oleh telur. Pada saat ini cacing betina akan turun ke bagian kolon dan
keluar melalui anus, telur-telur akan diletakkan di perianal dan di kulit
perineum (Lynne et al, 1996).
Gejala Klinis
Enterobiasis sering
tidak menimbulkan gejala (asimptomatis). Gejala klinis yang menonjol berupa gatal-gatal di daerah sekitar anus atau perianal, disebabkan
oleh iritasi disekitar anus akibat migrasi cacing betina ke perianal untuk
meletakkan telur-telurnya. Gatal-gatal di daerah anus terjadi saat malam hari,
karena migrasi cacing betina terjadi di waktu malam (Lynne et al, 1996)
Infeksi
cenderung banyak pada anak-anak dan lebih sering pada wanita daripada pria.
Pada wanita dengan infeksi berat, dapat menyebabkan vaginitis disertai
keluarnya cairan mukoid dari vagina diikuti migrasi cacing ke dalam vagina,
uterus atau tuba fallopy (Lynne et al,
1996). Perlekatan kepala cacing pada mukosa usus menimbulkan peradangan ringan
oleh karena perlekatan tersebut merupakan iritasi mekanis dan akan memberi
gejala klinis berupa nyeri perut, diare atau tanpa gejala (Pusat Pendidikan
Tenaga Kesehatan, 1989). Gejala-gejala lainnya yang dihubungkan dengan infeksi
cacing kremi, terutama pada anak-anak adalah gelisah, insomnia, mimpi buruk dan
kadang kejang (Lynne et al, 1996).
Permasalahan dalam
penelitian ini adalah Apakah penyebab penyakit infeksi parasit yang sering
terjadi pada manusia terutama pada anak-anak? dan Apakah terdapat penyakit infeksi Enterobiasis yang
disebabkan oleh cacing Enterobius vermicularis pada beberapa siswa Sekolah Dasar
Negeri Putat Kidul II yang dilakukan secara acak dari kelas 1 sampai dengan
kelas 6?
METODE
PENELITIAN
Tujuan pwenelitian ini adalah
untuk membuktikan keberadaan parasit yang sering menginfeksi
manusia terutama anak-anak
dan membuktikan adanya parasit Enterobius vermicularis pada beberapa sampel siswa SDN Putat Kidul
II Kec. Gondanglegi Kab. Malang.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi Sekolah
Dasar Negeri Putat Kidul II dari kelas 1 hingga kelas 6 di Desa Putat Kidul,
Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang. Sedangkan sampel penelitian diambil
secara acak dari rata-rata jumlah keseluruhan siswa yakni dipilih 50 siswa
untuk kelas 1-6 yang bertempat tinggal
hanya di Desa Putat Kidul .
Variabel penelitian ini terdiri dari Variabel
bebas yaitu penyakit infeksi
pada manusia akibat parasit
dan Variabel terikat yaitu keberadaan
telur dan cacing Enterobius vermicularis.
Pengumpulan data diperoleh dari data
perihal kejadian infeksi cacing kremi diperoleh dengan cara melakukan pemeriksaan
laboratorim dari swap perianal menggunakan metode Adhesive cellophane tape (Lynne et
al, 2007).Data perihal usia siswa sekolah dasar mulai kelas 1 hingga
6 diperoleh dengan melakukan observasi langsung.
Metode analisis data secara statistik dilakukan dengan menghitung besaran prevalensi
yang dinyatakan dalam satuan persentase (%) dan grafik atau diagram.
1.
Obyek telur Enterobius
vermicularis yang ditemukan pada sampel diolah berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium, dan selanjutnya diolah menjadi kategori yaitu: “positif” apabila
ditemukan telur atau cacing dewasa E. vermicularis dan “negatif” apabila
tidak ditemukan telur atau cacing dewasa E. vermicularis.
2. Subyek
siswa sekolah dasar kelas 1-6 yang digunakan sebagai sampel diolah berdasarkan
banyaknya yang terinfeksi pada masing-masing katagori dan selanjutnya dihitung
prosentasenya.
Prosedur Penelitian
1
Alat dan Bahan
Alat yang dipakai dalam
penelitian ini adalah Adhesive cellophane
tape (pita plastik perekat), objek glass, sendok yang panjangnya 10 cm atau
alat penekan lidah dari kayu (spatel), kertas label dan mikroskop. Bahan yang
diperlukan untuk pemeriksaan berupa perianal swab dari anak Sekolah Dasar
Negeri Putat Kidul II di Desa Putat Kidul, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten
Malang.
2.Metode Kerja
Prinsip Pemeriksaan:Plastik
perekat direntangkan pada sebuah kaca objek, dimulai ½ inci drai tepi kaca
objek dan demikian juga di ujung lainnya. Letakkan sehelai kertas berukuran ½
inci di antara kaca objek dan plastik perekat pada salah satu ujungnya.
Kemudian untuk mengambil sampel, lepas kembali
pita plastik perekat dan letakkan pada katu spatel lidah dengan bagian
perekat diluar, kemudian tekankan pita plastik tersebut ke kanan dan ke kiri di
lekukan perianal. Letakkan kembali plastik perekat, tulis identitas pasien dan
periksa (Lynne dan David, 1996).
3.Waktu
Pengambilan Spesimen
Waktu pengambilan spesimen yang
dilakukan dalam pemeriksaan Enterobiasis dengan
menggunakan teknik “Adhesive cellophane
tape” adalah pagi hari sebelum penderita buang air besar dan mencuci pantat
(cebok). Itu adalah waktu yang tepat untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
Selain itu, waktu pengambilan juga dapat dilakukan pada malam hari yaitu
sebelum tidur terutama saat gejala rasa gatal muncul disekitar anus. Karena
pada saat itu cacing betina bemigrasi ke daerah perianal tempat telur di
letakkan (Bernardus, 2007)
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pemeriksaan
Analisa dilakukan terhadap 50
sampel. Dari 50 sampel tersebut diperiksa dan diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 1. Hasil pemeriksaan Enterobiasis siswa SDN Putat Kidul II
di Laboratorium
Parasitologi AAKMAL
No.
|
Nama
|
Usia
|
Kelas
|
Hasil
|
1.
|
Dimas Dwi Pratama
|
6th
|
1 (satu)
|
(-) Negatif
|
2.
|
Feri Irawan
|
7th
|
1 (satu)
|
(+) Positif
|
3.
|
Nur Baitul Asikin
|
7th
|
1 (satu)
|
(+) Positif
|
4.
|
Yoga Prasetio
|
7th
|
1 (satu)
|
(+) Positif
|
5.
|
Hari
|
7th
|
1 (satu)
|
(+) Positif
|
6.
|
Septian
Prabowo(asep)
|
6th
|
1 (satu)
|
(-) Negatif
|
7.
|
Andik Kurniawan
|
7th
|
1 (satu)
|
(+) Positif
|
8.
|
Arisuhadak
|
6th
|
1 (satu)
|
(+) Positif
|
9.
|
Jefri Fajar
Pamula
|
6th
|
1 (satu)
|
(-) Negatif
|
10.
|
Santi
|
7th
|
1 (satu)
|
(-) Negatif
|
11.
|
Suliswati
|
7th
|
2 (dua)
|
(+) Positif
|
12.
|
Maria Putri
|
8th
|
2 (dua)
|
(-) Negatif
|
13.
|
Riska Amelia
|
8th
|
2 (dua)
|
(-) Negatif
|
14.
|
Agustina W
|
8th
|
2 (dua)
|
(-) Negatif
|
15.
|
Ananda Febrianto
|
8th
|
2 (dua)
|
(+) positif
|
16.
|
Siti Ratnawati
|
7th
|
2 (dua)
|
(-) Negatif
|
17.
|
Amirudin
|
7th
|
2 (dua)
|
(-) negatif
|
18.
|
Toni Prayoga
|
8th
|
2 (dua)
|
(+) positif
|
19.
|
Doni Nofianto
|
7th
|
3 (tiga)
|
(+) positif
|
20.
|
Ulfa Maulidia
|
8th
|
3 (tiga)
|
(+) positif
|
21.
|
Yusuf Efendi
|
8th
|
3 (tiga)
|
(-) negatif
|
22.
|
Hanum Faruroh
|
9th
|
3 (tiga)
|
(-) negatif
|
23.
|
Disa Andini
|
9th
|
3 (tiga)
|
(-) negatif
|
24.
|
Ahmad
Arifudin(aan)
|
8th
|
3 (tiga)
|
(-) negatif
|
25.
|
M. Dicky Prasetio
|
8th
|
3 (tiga)
|
(-) negatif
|
26.
|
Suci Nur Yati
|
9th
|
3 (tiga)
|
(-) negatif
|
27.
|
M. Abdurrahman
|
9th
|
4 (empat)
|
(+) positif
|
28.
|
Sarifatul Aini
|
9th
|
4 (empat)
|
(-) negatif
|
29.
|
Yogi Wibowo
|
10th
|
4 (empat)
|
(-) negatif
|
30.
|
Siti Solikha
|
9th
|
4 (empat)
|
(-) negatif
|
31.
|
M. Endras
|
9th
|
4 (empat)
|
(+) positif
|
32.
|
Ari Budi
|
9th
|
4 (empat)
|
(-) negatif
|
33.
|
Lindasari
|
9th
|
4 (empat)
|
(-) negatif
|
34.
|
Anita Pasya
Mandarita
|
10th
|
4 (empat)
|
(-) negatif
|
35.
|
Siska Agustina
|
11th
|
5 (lima)
|
(-) negatif
|
36.
|
Alfin Irfani
|
11th
|
5 (lima)
|
(+) positif
|
37.
|
Widia Dwi D
|
10th
|
5 (lima)
|
(-) negatif
|
38.
|
Hendianto
|
10th
|
5 (lima)
|
(-) negatif
|
39.
|
Anto
Hendrawan(antok)
|
10th
|
5 (lima)
|
(-) negatif
|
40.
|
Dian Pradana
|
10th
|
5 (lima)
|
(-) negatif
|
41.
|
Siti
Kasrotin(iin)
|
11th
|
5 (lima)
|
(-) negatif
|
42.
|
Elisa Damayanti
|
11th
|
5 (lima)
|
(-) negatif
|
43.
|
Dwi Andini
|
12th
|
6 (enam)
|
(-) Negatif
|
44.
|
M.
Afikurrahman(apik)
|
11th
|
6 (enam)
|
(-) Negatif
|
45.
|
M. Alif
|
11th
|
6 (enam)
|
(-) Negatif
|
46.
|
Dani Wahyu
|
12th
|
6 (enam)
|
(-) Negatif
|
47.
|
Zaidin
|
11th
|
6 (enam)
|
(-) Negatif
|
48.
|
Wiwik Utari
|
12th
|
6 (enam)
|
(-) Negatif
|
49.
|
Ahmad Alwibi
|
12th
|
6 (enam)
|
(-) Negatif
|
50.
|
Kurniawati
|
12th
|
6 (enam)
|
(-) Negatif
|
Keterangan
:
1.
Hasil positif : Apabila ditemukan telur atau cacing
Enterobius vermicularis pada sediaan swap anal, seperti pada gambar dibawah
ini:
Ekor Enterobius vermicularis betina
|
Gambar di atas didapat dari
mikroskop dengan pembesaran 40x dan di foto dengan kamera handphone 2
megapixel. Dan dari gambar di atas dapat dilihat bahwa ditemukan cacing
(sebelah kiri) dan telur (sebelah kanan) dari Enterobius vermicularis pada beberapa sampel swap anal siswa
Sekolah Dasar Negeri Putat Kidul II Kec. Gondanglegi Kab. Malang.
2.
Hasil negatif : Apabila tidak ditemukan telur atau cacing
Enterobius vermicularis pada sediaan swap anal, seperti pada gambar dibawah
ini:
Tidak ditemukan telur atau cacing dari
Enterobius vermicularis, hanya kotoran pada swap anal sampel.
|
Gambar
9. Hasil penelitian dari sampel swap anal yang menunjukkan hasil negatif.
|
Gambar di atas didapat dari mikroskop dengan pembesaran 40x dan
di foto dengan kamera handphone 2 megapixel. Dan dari gambar di atas dapat
dilihat bahwa tidak ditemukan cacing ataupun telur Enterobius vermicularis diantara beberapa sampel swap anal siswa Sekolah
Dasar Negeri Putat Kidul II Kec. Gondanglegi Kab. Malang.
Analisa
Data
Dari tabel diatas
dapat diambil data sebagai berikut:
1.
Jumlah sampel keseluruhan =
50
2.
Jumlah sampel yang menunjukkan hasil positif = 14
3.
Jumlah sampel yang menunjukkan hasil negatif = 36
Ø Prosentase hasil pemeriksaan positif
% = jumlah sampel positif x 100%
= 14 x
100%
= 28% (Irianto,
2005)
Jumlah sampel keseluruhan 50
|
Ø Prosentase hasil pemeriksaan negatif
%= jumlah sampel negatif x 100%
Gambar 10. Diagram lingkaran prosentase infeksi cacing kremi siswa SDN Putat Kidul II |
Prosentase siswa yang
terinfeksi 28% dari jumlah keseluruhan sampel yang diambil secara acak dari
kelas1-6. Dari diagram di atas dapat diketahui bahwa sampel yang menunjukkan
hasil positif telah menempati ≥1/4 lingkaran dan sampel yang menunjukkan hasil negatif
72% yang menempati ±3/4 bagian lingkaran. Hal ini menunjukkan penyakit infeksi
akibat E. vermicularis sudah mulai
berkembang di desa Putat Kidul ini terutama pada siswa SDN Putat Kidul II yang
28% dari mereka menunjukkan hasil positif.
PEMBAHASAN
Pengambilan sampel dilakukan di
Sekolah Dasar Negeri Putat Kidul II desa Putat Kidul kecamatan Gondanglegi
kabupaten Malang. Daerah ini diduga memenuhi syarat dalam penyebaran cacing Enterobius vermicularis dimana sebagian
masyarakatnya kurang begitu memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan.
Penelitian dilakukan terhadap
50 sampel yang diambil dari 10 siswa kelas1, 8 siswa kelas2, 8 siswa kelas3, 8
siswa kelas4, 8 siswa kelas5 dan 8 siswa kelas6. Dari 50 sampel tersebut
diperiksa dan didapatkan hasil seperti yang terdata dalam tabel dibawah ini.
Tabel 2. Hasil Pemeriksaan Enterobiasis Siswa SDN Putat Kidul II yang dikelompokkan
Berdasarkan Kelas dan Usia
Kelas
|
Usia
|
Jumlah Sampel
|
Hasil Penelitian
|
|
Positif
|
Negatif
|
|||
1
(satu)
|
6-7
th
|
10
|
6
|
4
|
2
(dua)
|
7-8
th
|
8
|
3
|
5
|
3
(tiga)
|
8-9
th
|
8
|
2
|
6
|
4
(empat)
|
9-10
th
|
8
|
2
|
6
|
5
(lima)
|
10-11
th
|
8
|
1
|
7
|
6
(enam)
|
11-12
th
|
8
|
0
|
8
|
Jumlah
|
50
|
14
|
36
|
Prosentase hasil pemeriksaan positif dan negatif
berdasarkan klasifikasi data di atas adalah sebagai berikut:
Gambar 12.
Diagram batang hasil pemeriksaan Enterobiasis
dengan jumlah 36 siswa yang negatif atau tidak terinfeksi yang di prosentase
berdasarkan kelas.
Dari 50 sampel yang diperiksa
didapatkan 14 siswa yang positif Enterobiasis,
dimana 6 dasi siswa kelas 1, 3 dari siswa kelas 2, 2 dari siswa kelas 3, 2 dari
siswa kelas 4, dan 1 dari siswa kelas 5. Hal ini menunjukkan bahwa pada siswa
kelas 1 yang interval usianya antara 6 sampai 7 tahun lebih banyak terinfeksi Enterobiasis dibandingkan pada anak
kelas 2, 3, 4, 5 dan 6 yang mempunyai rentang usia di atasnya, hal itu bisa
terjadi karena kemampuan siswa kelas 1 dalam menjaga kebersihan dirinya masih
sangat kurang dibanding dengan siswa kelas 2, 3, 4, 5 dan 6 di atasnya.
Walaupun pada kelas 2, 3, 4, 5 dan 6 masih merupakan rentang usia 7-12 tahun
yang juga resiko terpapar infeksi Enterobiasis
dari sumber penularan infeksi yang sama yaitu melalui debu di ruangan sekolah
yang mudah diterbangkan oleh angin sehingga telur melalui debu akan tertelan,
akan tetapi tingkat kebersihan diri siswa kelas 1 masih sangat kurang dibanding
kelas di atasnya. Oleh karena itu siswa kelas 1 menunjukkan hasil positif cukup
tinggi dan di ikuti penurunan pada siswa kelas lainnya yang bisa dilihat pada
diagram batang diatas (Gambar 11). Diagram tersebut menunjukkan bahwa dari
kelas 1 sampai kelas 6 terjadi penurunan infeksi. Sedangkan diagram kedua (Gambar
12) menunjukkan peningkatan hasil negatif dari kelas 1 sampai kelas 6.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pemeriksaan Enterobiasis
pada siswa Sekolah Dasar Negeri Putat Kidul II, dari 50
sampel yang diperiksa secara
acak didapatkan 14 siswa yang positif terinfeksit Enterobius vermicularis,
dimana 6 anak
dari siswa kelas 1, 3 dari siswa kelas 2, 2 dari siswa kelas
3, 2 dari siswa kelas 4, dan 1 dari siswa kelas 5. Hal ini menunjukkan bahwa anak pada usia sekolah
dasar, kususnya mulai usia 6 sampai 12 tahun sangat rentan terhadap infeksi
ini. Jika di hitung prosentasenya maka didapatkan 28% anak yang positif
terinfeksi Enterobiasis dan 72% anak yang negatif atau tidak terinfeksi Enterobius vermicularis.
Saran
Bagi
Masyarakat lebih memperhatikan kebersihan diri sendiri dan lingkungan agar
terhindar dari infeksi akibat parasit Enterobius
vermicularis. 2). Menyadari pentingnya menjaga kebersihan diri dan
lingkungan guna menghambat
penyebaran infeksi akibat parasit Enterobius vermicularis, kususnya
dilingkungan sekolah hendaknya memberi fasilitas tempat mencuci tangan bagi
anak didiknya untuk menghindari penyebaran penyakit infeksi kususnya infeksi
dari parasit Enterobius vermicularis
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2000. Penuntun
Praktikum Parasitologi Kedokteran. Jakarta: FKUI.
Aritonang, Ir. Irianto. 2005. Aplikasi Statistika. Yogyakarta: Media Presindo.
Entjang, dr. Indan. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi
Untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah Tenaga Kesehatan yang Sederajat. Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Garcia, Lynne S. & Bruckner, David A. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta: ECG.
Prasetyo, Heru. 1996. Pengantar
Praktikum:Helmintologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press.
Prasetyo, Hru. 2003. Atlas
Berwarna:Helmintologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga University Press.
Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan. 1989. Parasitologi Medik II. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Sandjaja, Bernardus. 2007. Parasitologi Kedokteran:Helmintilogi Kedokteran. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Zaman, Vigar. & Mary, Ng Mah-Lee. 2008. Atlas of Medical Parasitologi.
Yogyakarta: Graha Ilmu.