PERBANDINGAN UJI WIDAL CARA TABUNG DI
LABORATORIUM PRODIA MALANG TAHUN 2008 DAN 2009” DENGAN TEPAT WAKTU
Oleh
Muh. Faiq Rofiqi
Dosen AAKMAL Malang
INTISARI
Tujuan penelitian adalah Mengetahui
perbandingan prevalensi uji widal cara tabung pada penderita demam tifoid yang
diperiksa di Laboratorium Prodia Malang
periode September 2008 sampai Februari 2009 dan Maret 2009 sampai
Agustus 2009.
Populasi
penelitian adalah seluruh pasien yang memeriksakan titer antibodi O dan H
terhadap kuman Salmonella typhi ke
Laboratorium Prodia malang. Sampel penelitian adalah seluruh pasien dengan
titer agglutinin O dan H positif terhadap kuman Salmonella typhi yang datang di
Laboratorium Prodia malang.
Analisa data yang diperoleh berupa data sekunder yaitu
data yang diperoleh
tanpa melakukan pengumpulan data sendiri. Data tersebut dianalisis dan dihitung secara statistik menggunakan
persentase dan uji chi square.
Hasil
penelitian ini dapat disimpulankan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah penderita demam tifoid
di Laboratorium Prodia Malang pada 2 periode tersebut. Hal ini dapat
dikarenakan mudahnya penularan penyakit demam tifoid antara penderita yang satu
dengan yang lain
Kata kunci: prevalensi uji
widal, cara tabung, demam tifoid
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit
infeksi sistemik, bersifat endemis dan masih merupakan, masalah kesehatan masyarakat yang penting disebagian negara
berkembang di dunia termasuk Indonesia. Hal ini
berkaitan erat dengan higiene perorangan dan sanitasi lingkungan yang kurang baik, serta persediaan air minum yang
kurang memenuhi persyaratan
kesehatan (Soewandoyo, 2002).
Di Indonesia demam tifoid dapat
ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada kesesuaian faham mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus demam
tifoid. Ada penelitian yang mendapatkan peningkatan di musim hujan, ada yang mendapatkan peningkatan demam tifoid di musim
kemarau dan ada pula yang mendapatkan
peningkatan di peralihan musim hujan dan musim kemarau (Tjokronegaro, 1996).
Penanggulangan demam tifoid,
disamping penyuluhan kesehatan dan
vaksinasi, pencarian kasus yang diikuti oleh pengobatan yang dini dan adekuat merupakan kunci utama keberhasilan
pengendalian penyakit ini, terutama
dalam mematahkan rantai penularan penyakit dan mencegah komplikasi
(Handojo, 2004).
Untuk keperluan pencarian kasus
tersebut, dibutuhkan sarana diagnosis yang andal, dapat memberikan diagnosis yang dini, praktis dan
tidak mahal.
Diagnosis pasti demam tifoid adalah ditemukan kuman penyebab demam tifoid yaitu Salmonella
typhi. Namun diagnosis dengan cara mengisolasi kuman Salmonella typhi, memerlukan
waktu yang cukup lama
dan tidak semua labolatorium mampu melaksanakan. Diagnosis demam tifoid sering ditegakkan
hanya dengan berdasarkan gejala klinis dan tes serologi saja (Handojo, 2004).
Uji widal merupakan salah satu uji serologi yang
sampai saat ini masih digunakan secara luas, terutama dinegara berkembang
termasuk Indonesia. Uji widal dapat dilakukan dengan metode tabung atau dengan
metode slide. Uji widal cara slide dapat dikerjakan lebih cepat dibandingkan
dengan uji widal cara tabung tetapi ketepatan dan spesifitas uji widal cara
tabung lebih baik dibandingkan uji widal cara slide. Hal tersebut dikarenakan
uji widal cara tabung menggunakan antigen S.typhi
dari daerah endemis setempat sedangkan uji widal cara slide sebagian besar
menggunakan antigen bukan dari daerah setempat (Puspa W, 2005).
Oleh karena itu dalam tugas akhir ini penulis membahas
masalah demam tifoid, pengaruh musim terhadap jumlah pasien penderita demam
tifoid di Laboratorium Prodia Malang selama periode September 2008 sampai
Agustus 2009, dan untuk mengetahui
prevalensi uji widal cara tabung di Laboratorium Prodia Malang selama periode
September 2008 sampai Februari 2009 dan Maret 2009 sampai Agustus 2009, dimana
data tersebut merupakan data penting untuk upaya pencegahan lebih lanjut.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan
penelitian ini adalah
1). Bagaimana
perbandingan uji widal cara tabung pada penderita demam tifoid yang diperiksa
di Laboratorium Prodia Malang periode September 2008 sampai Februari 2009 dan
Maret 2009sampai Agustus 2009?
2). Bagaimana
pengaruh perbedaan musim kemarau dan musim hujan terhadap jumlah penderita
demam tifoid?
Tinjauan Pustaka
Demam Tifoid
1 . Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi
sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella
typhi ditandai dengan demam yang berkepanjangan (lebih dari satu minggu),
gangguan saluran cerna dan gangguan kesadaran (Puspa W, 2005).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi
sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi, salah satu serotipe
bakteri gram negatif: salmonella. Beberapa serotipe lain yaitu S.paratyphi A, B dan C. Gejala klinik sama dengan demam tifoid, sehingga
tatalaksananya juga sama (Soewandoyo, 2002).
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah
penyakit infeksi akut usus halus. Demam paratifoid secara umum lebih ringan dan
menunjukkan manifestasi klinis yang
sama atau menyebabkan enteris akut (Tjokronegoro, 1996).
Demam tifoid adalah demam sistemik akut
yang nyata pada fagosit mononuklear dan membutuhkan tatanama yang terpisah,
karena dapat disebabkan oleh beberapa spesies (S. tiyphi, S. Paratyphi A
dan B serta kadang-kadang S. Typhimurium) (Ahmad
H, 1999).
2. Etiologi
Penyebab dari demam
tifoid adalah Salmonella typhi. Salmonella
typhi adalah bakteri gram negatif
yang termasuk dalam famili
Enterobakteriaceae, bergerak dengan perithrichous flagela, bersifat anaerobik fakultatif, tidak berspora,
hampir tidak pernah memfermentasi laktosa maupun sukrosa, membentuk asam
dan kadang gas dari glukosa dan manosa, berkemampuan untuk invasi, hidup
dan berkembang biak di sel kariotik.
Selain itu Salmonella typhi juga mempunyai beberapa antigen: antigen O,
antigen H, antigen Vi, Outer membran protein terutama porin OMP dan Heat shock protein (HSP) (Handojo, 2005).
1) Antigen O (somatik antigen)
Merupakan bagian terluar dinding sel
lipopolisakarida dan terdiri dari unit berulang polisakarida. Antigen ini tahan
terhadap pemanasan 100°C selama 2-5 jam, alkohol dan asam encer tetapi tidak
tahan formaldehid. Antibodi terhadap antigen O adalah Ig M. Lipopolisakarida
dari antigen O ada 3 regio sebagai berikut (Carrick, 1983).
a.
Regio 1,
mengandung antigen O spesifik atau antigen dinding sel dan merupakan polimer
dari unit oligosakarida yang berulang-ulang. Antigen O ini berguna untuk
pengelompokan serologis.
b.
Regio
2, terikat pada antigen O yang terdiri dari core polysacarida serta merupakan sifat yang konstan dalam suatu genus Enterobakteriaceae tetapi berbeda antara genera.
c.
Regio 3,
mengandung lipid A yang terikat pada core polysakarida yang merupakan bagian
yang toksin dari molekul. Lipid A ini
menempelkan lipopolisakarida
pada permukaan sel.
pada permukaan sel.
2) Antigen H
Merupakan antigen
yang terletak di flagela, fimbriae, atau fili S.typhi dan berstruktur kimia protein. Salmonella typhi mempunyai antigen H phase 1 tunggal yang juga
dimiliki oleh beberapa salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan
diatas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam. Antigen H tahan terhadap
formalin. Antigen H mengadakan aglutinasi dengan antibodi H, biasanya Ig G
(Handojo, 2004).
3) Antigen Vi
Terletak pada
kapsul (envelop) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut diatas, didalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin
(Handojo, 2004).
4) Otither Membran Protein (OMP)
Merupakan bagian
dinding sel yang terletak diluar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang
membatasi sel terhadap lingkungan sekitar. OMP berfungsi sebagai barier fisik
yang mengendalikan masuknya zat dan cairan kedalam membran sitoplasma.
Disamping itu OMP juga berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofaga dan
bakteriolisin. OMP dibagi menjadi 2 bagian:
a.
Porin, merupakan
komponen utama dan OMP, terdiri dari
protein Omp C, Omp D, dan Omp F. Porin merupakan saluran hidrofobik yang berfungsi untuk difusi solute dengan berat molekul lebih kecil dari 6000. Porin mempunyai sifat resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu di bawah 85-100°C.
protein Omp C, Omp D, dan Omp F. Porin merupakan saluran hidrofobik yang berfungsi untuk difusi solute dengan berat molekul lebih kecil dari 6000. Porin mempunyai sifat resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu di bawah 85-100°C.
b.
Protein nonporin
terdiri dari protein Omp A, protein A, dan
lipoprotein, mempunyai sifat sensitif terhadap protease. Fungsi dari protein nonporin masih belum diketahui dengan jelas (Gam, 1992).
lipoprotein, mempunyai sifat sensitif terhadap protease. Fungsi dari protein nonporin masih belum diketahui dengan jelas (Gam, 1992).
5) Heat Shock Protein (HSP)
Merupakan protein
yang diproduksi oleh jasad renik dalam lingkungan yang terus berubah, terutama
yang menimbulkan stress. Pada jasad renik tersebut dalam usaha untuk dapat
mempertahankan hidup. Disamping potensi
biologis HSP mempunyai daya imunogenik yang cukup besar sehingga dapat
menimbulkan respon imun, baik selular maupun humoral, baik protektif maupun nonprotektif.
Atas dasar ini, maka HSP dapat dipakai baik untuk
keperluan diagnostik maupun keperluan preventif.
Salmonella typhi bila menginfeksi manusia juga akan memproduksi HSP. Setelah masuk
dalam tubuh manusia, S.
Typhi mengalami perubahan suhu
sekitar 37°C. Selanjutnya basil tersebut akan mengalami fagositosis dan
pemaparan terhadap radikal oksigen dan enzim proteolitik di dalam makrofag pada suhu yang lebih tinggi.
Untuk dapat
mempertahankan hidup didalam makrofag pada suhu yang lebih tinggi, S. typhi akan
mensintesis HSP (Buchmeier, 1990; Ensgraber, 1992).
3. Epidemiologi
Demam tifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang
tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Walaupun demam
tifoid tercantum dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data
yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologis belum diketahui secara
pasti (Tjokronegoro, 1996).
Di Indonesia demam tifoid jarang
dijumpai secara epidemik, tetapi
lebih sering bersifat sporadis,
terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus
pada orang-orang serumah (Tjokronegoro, 1996).
Penyakit ini mula-mula banyak
didapatkan di kota-kota besar yang padat penduduk, kemudian dengan kemajuan
alat transportasi menyebar kepedesaan dan saat ini merupakan penyakit endemis
dibeberapa kota besar di Indonesia (Soewandoyo, 2002).
Pada perbaikan sanitasi
lingkungan di Amerika Serikat, insidensi tifoid telah menurun secara bertahap.
Dibandingkan dengan tahun 1920 saat hampir 36.000 kasus ditemukan, angka
tahunan kini kira-kira 500. Lebih dari 80% kasus ini adalah kasus tifoid aktif,
dan yang lain adalah karier konvalesen. Usia pasien rata-rata 24 tahun,
sementara usia median karier adalah lebih dari 60 tahun. Data yang dikumpulkan
oleh Center for disease Control and
Prevention (CDC) memperlihatkan bahwa insiden di Amerika Serikat menurun
lima kali lipat dari tahun 1955 sampai tahun 1966, dari 1 per 100.000 menjadi
0,2 per 100.000 penduduk, dan tetap bertahan demikian hingga saat itu. Pada
saat bersamaan, perbandingan infeksi didapat diluar negeri
meningkat dari 33% pada tahun 1960-an menjadi lebih dari 60% pada tahun 1980-an
dan berlanjut meningkat (Ahmad H, 1999).
Meksiko adalah sumber utama bagi
orang Amerika, mencakup 39% kasus mulai dari tahun 1975 sampai 1984, walaupun
beresiko bagi pelancong pergi ke Peru, Chile, India, dan Pakistan. Tempat
penjangkitan utama tifoid adalah Alexandria, Mesir, Jakarta, Indonesia, dan
Santiago, Chili (Ahmad H, 1999).
4 Cara Penularan Demam Tifoid
Sumber penularan demam tifoid secara
umum tidak dapat ditemukan. Ada 2 sumber penularan S. Typhi : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier.
Orang-orang tersebut mengekskresi 109
sampai 1011 kuman per gram ginjal (Tjokronegoro,
1996).
Didaerah endemik transmisi melalui air yang tercemar. Makanan yang tercemar
oleh carrier merupakan sumber
penularan yang paling sering di daerah nonendemik.
Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih
terus mengekskresi S.typhi dalam
tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu
merupakan predisposisi untuk
terjadinya carrier. Kuman S.typhi berada didalam kandung empedu
atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung
jaringan ikat, akibat radang menahun (Tjokronegoro,
1996).
5. Patogenesis
dan Patofisiologi
1). Kuman S.Typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air
yang terkontaminasi dengan S. typhi (Soewandoyo, 2002).
a. Melewati barier asam lambung (menurunnya derajat
keasaman asam lambung
makanan bersifat basa, antasida), achlorhydria. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung.
b. Melewati barier
usus halus dan
mencapai jaringan limfoid plaque peyeri
di ileum terminalis
yang mengalami hipertrofi.
Ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi
intestinal dapat terjadi.
c. Kuman Salmonella typhi kemudian
menembus lamina
propria, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe
mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi.
propria, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe
mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi.
d. Setelah melewati
kelenjar-kelenjar limfe ini S. typhi masuk aliran darah melalui ductus
thoracicus. Kuman S. Typhi lain mencapai hati melalui
sirkulasi portal dari usus.
2) S. typhi bersarang di plaque
peyeri, limfe, hati dan bagian-bagian
lain sistem
retikuloendotelial
(Soewandoyo, 2002).
3) Bakterimia 1
terjadi 24-72 jam setelah inkubasi.
4) Sebagian S. typhi di dalam makrofag keluar dari sirkulasi
masuk kedalam jaringan
organ
nonlimfoid dan berkembang biak didalamnya
(Soewandoyo, 2002).
5) S.typhi yang ada di dalam makrofag dapat bertahan hidup
dan berkembang biak
dalam fagosom makrofag. Sel akhirnya
akan mengalami lisis, S. typhi keluar
keperedaran
darah umum, terjadi bakteremia ke 2,
yang disertai dengan gejala klinis demam, nyeri
kepala, otot sendi, dll.
Gejala klinis ini disebabkan oleh
pengaruh endotoksin pada hipotalamus, maupun pengaruh sitokin pro inflamasi
yang diproduksi oleh makrofag yang terinfeksi S. typhi (Soewandoyo, 2002).
Gambaran
Klinis
Demam
tifoid secara umum menyerang penderita kelompok umur 5-60 tahun, laki-laki maupun wanita. Jarang
pada usia dibawah 2 tahun maupun diatas 60 tahun (Soewandoyo, 2002).
Pada anamnesis, saat masuk rumah sakit didapatkan
keluhan utama adalah demam, yang diderita 5-7 hari, yang tidak berhasil diobati
dengan antipiretika. Demam bersifat bertahap makin naik setiap hari sampai
dengan 40-41°C, disertai dengan lemah badan, malas, nyeri kepala, nyeri otot
punggung dan sendi, perut kembung kadang-kadang nyeri, obstipasi, mual, muntah dan batuk.
Ciri utama demam tifoid adalah demam
menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak diobati). Perlu
ditanyakan apakah penderita berasal dari atau bapergian ke daerah endemis demam tifoid. Kebiasaan
makan-minum (kerang, ice cream dan air mentah).
Perlu juga ditanya apakah pernah menjalani vaksinasi demam tifoid.
Manifestasi klinis demam tifoid yaitu penderita
nampak lesu, letih, wajah kosong. Kadang-kadang penderita nampak gelisah dan
koma. Gejala lain yang dapat dijumpai yaitu demam bradikardi relatif,
pendengaran menurun, tifoid tongue, rose
spots, bronchitic chest, tidak enak perut, kembung, hepatomegali dan splenomegali.
Ciri khas utama demam tifoid yang tidak
dirawat adalah demam tinggi yang menetap, anoreksia berat, penurunan berat
badan, dan perubahan pada sensorik, tetapi dapat terjadi berbagai penyulit lain
termasuk hepatitis, meningitis, nefritis, miokarditis,
bronkitis, pneumonia, artritis, oesteomielitis, parotitis dan orkitis. Kecuali
kekambuhan, jumlah penyulit ini, termasuk perdarahan dan perforasi, dapat
dikurangi dengan penggunaan antibiotik yang tepat (Ahmad H, 1999).
S. typhi yang resisten terhadap
obat, lebih cenderung terjadi prevalen pada banyak negara endemik. Pasien ini memberikan gejala pada pasien kesakitan
yang lebih berat, hepatomegali, dan peningkatan angka kematian 3 kali lipat
yang dianggap berkaitan dengan lama kesakitan yang lebih panjang dan terapi
antibiotik oral sebelumnya yang tidak efektif (Ahmad H, 1999).
Demam tifoid ada 4
fase yang dialami oleh penderita, yaitu:
1).Fase prodromal (minggu 1)
Pada fase ini masih belum ada
tanda-tanda gejala penyakit, terjadi pada minggu pertama (dari mulai penderita terinfeksi
kuman) sampai awal
minggu kedua. Pada fase inilah terjadi bakterimia, yaitu masuknya bakteri pada
aliran darah.
2).Fase klinis (minggu II)
Baru pada fase ini, terlihat gejala-gejala
klinis dari penyakit demam tifoid, tetapi
pada fase ini mulai turun bakterimianya. Gejala-gejala klinis yang
rnulai nampak diantaranya adalah: pusing, panas
(dapat mencapai 40°C), denyut nadi lemah
(antara 80-100 per menit), malaise,
anoreksia, perut terasa tidak enak, diare dan sembelit yang silih
berganti, sehingga meski spesifik tetapi jarang ditemukan.
3).Fase komplikasi (minggu III)
Fase komplikasi ini adalah fase yang paling
membahayakan karena pada fase ini terjadi komplikasi-komplikasi lain yang
mungkin jauh lebih membahayakan dan penyakit itu sendiri. Sering pula terjadi,
dimana penyakit demam tifoidnya sendiri sudah sembuh, tetapi timbul penyakit
yang baru lagi, yang merupakan komplikasi dari penyakit demam tifoid.
Komplikasi-komplikasi yang sering ditimbulkan dari demam tifoid adalah
peradangan usus (usus menjadi berlubang) sehingga terjadi peritonitis (terjadi
radang peritoneum, dikarenakan isi usus keluar atau bocor keruang peritoneum).
Komplikasi serius yang sering terjadi adalah perdarahan dan perforasi usus
halus, penyulit lain yang dapat berakibat fatal termasuk sepsis, kholesistitis
nekrotik, nefritis, meningitis, pnemonia dan miokarditis. Selain itu komplikasi lain adalah terjadinya septisemi, yaitu
dikarenakan endotoksin yang dihasilkan oleh kuman Salmonella typhi sehingga penderita berak darah. Pada sepsis sering
diserti syok, septic dan kematian penderita. Sepsis daripada demam tifoid dapat
merupakan dampak endotoksemia. Endotoksin dari debris Salmonella typhi dapat menimbulkan gangguan sikulasi perifer dan
ganggguan multi organ.
4).Fase penyembuhan (minggu IV)
Fase ini adalah fase akhir dari demam tifoid, yaitu
merupakan perjalanan menuju sembuh, jadi fase ini adalah fase yang paling aman
dari demam tifoid, fase ini terjadi bila si penderita diberi pengobatan dan
tanpa terjadi komplikasi serta telah dapat diatasi.
Komplikasi-komplikasi
Menurut (Tjokronegoro, 1996)
komplikasi demam tifoid
dapat dibagi dalam:
1) Komplikasi intestinal
a.
Pendarahan usus
b.
Perforasi usus
c.
Ileus paralitik
2) Komplikasi ekstra-intestinal
a.
Komplikasi
kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis), miokarditis,
thrombosis dan tromboflebitis.
b.
Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau disseminated intravaskular coagulation (DIC) dan sindrom uremia hemolitik.
c.
Komplikasi paru:
pnemonia, empiema dan pleuritis.
d.
Komplikasi
ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritia.
e.
Komplikasi hepar
dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistitis.
Komplikasi tulang: oesteomielitis, periostitis, spondilitis
dan artritis.
f.
Komplikasi
neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis
perifer,
sindrom Guillain- Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
Komplikasi sering terjadi pada keadaan
toksemia berat, dan kelemahan umum, terutama bila perawatan pasien kurang sempurna.
Pencegahan
dan Pengendalian Demam Tifoid
1)
Orang Sehat
a.
Pengawasan higiene
dan sanitasi lingkungan hidup.
o Perlu adanya WC umum.
o Persediaan air
bersih.
o Tempat buangan sampah rumah tangga.
b.
Pengawasan higiene makanan dan minuman.
o Memasak makanan
o Merebus air minum
o Hati-hati minum es ( es krim )
o Cara penyajian makanan
c.
Higiene
perorangan.
o Cuci tangan
o Buang air besar dan kecil ditempat khusus ( WC
).
2)
Vaksinasi
Syarat vaksin :
efektif, mudah penggunaannya, aman dan murah. Dianjurkan untuk wisatawan ke
daerah endemis dan
pekerja laboratorium.
Berbagai macam
vaksinasi yaitu :
a.Acetone Inactivated
Vaccine
1. Kuman mati
2.
Ada 2 vaksin: K-acetoneinactivated
vaccine dan L-heat phenol inactivated vaccine.
· Efectivitas 51-88%
· Efek samping: 32-54%, berupa demam, sakit kepala, dan reaksi lokal tempat suntikan.
· Cara pemberian:
0,5 cc vaksin subcutan disusul 7-10 hari lagi Ice subkutan.
· Efektif minimal 1 tahun.
b.Oral live
"attenuated" vaccine (
TY2211a )
1. Kuman hidup,
dilemahkan.
2. Imunitas 3-6
tahun.
3. Berhasil diuji coba di Chili dan Mesir tetapi gagal di Indonesia.
4. Booster 5 tahun kemudian.
c.Vi parental vaksin
1. Polysacharide high-purified antigencfraction Vi-antigen.
2. Booster setelah 3 tahun.
3. Dapat diberikan pada anak > 6 bulan.
4. Dapat
diberikan bersamaan dengan vaksin lain dalam
1 alat suntik.
Pengobatan
Menurut (Tjokronegoro, 1996) pengobatan dalam tifoid terdari
atas 3 bagian yaitu: Perawatan
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk
observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah
untuk mencegah terjadinya komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus.
Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien.
Pasien dengan kesadaran yang
menurun, posisi tubuhnya
harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi
obstipasi dan retensi air kemih.
1)
Diet
Dimasa lampau
pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur
saring dimaksudkan untuk menghindari
komplikasi perdarahan usus
atau perforasi usus: karena ada pendapat, bahwa usus perlu
diistirahatkan. Banyak pasien tidak menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya makan sedikit, keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa penyembuhannya menjadi
lama.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa
pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk. pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar)
dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi,
maka selain macam/bentuk makanan yang
diinginkan, terserah pada pasien sendiri apakah mau makan bubur saring,
bubur kasar atau nasi dengan lauk pauk rendah selulosa.
2)
Obat
Obat-obat anti mikroba yang sering
dipergunakan adalah :
a. Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk demam tifoid. Belum ada
obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat didandingkan
kloramfenikol.
Dosis untuk orang dewasa 4 kali 500 mg
sehari oral atau intravena, sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan
kloramfenikol suksinat intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester
ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dengan menggunakan
kloramfenikol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5 hari.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada
demam tifoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan
tiamfenikol lebih jarang daripada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada
demam tifoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c. Ko-trimoksazol
Efektifitas ko-trimoksazol kurang lebih
sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 2 kali 2 tablet sehari,
digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 gr trimetoprim dan
400 mg sulfametoksazol).
Dengan ko-trimoksazol demam pada demam tifoid turun rata-rata
setelah 5-6 hari.
d. Ampisilin dan amoksisilin
Dalam hal kemampuan
untuk menurunkan demam, efektifitas
ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan
dengan kloramfenikol. Indikasi
mutlak penggunaanya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis
yang dianjurkan berkisar antara 75-150
mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan ampisilin atau amoksisilin demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 7-9
hari.
e. Sefalosrorin
generasi ketiga
Beberapa uji klinik
menunjukkan bahwa sefalosrorin generasi ketiga antara lain
sefoperazon, seftriakson dan sefotaksim efektif untuk demam tifoid, tetapi
dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui
dengan pasti.
f. Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif
untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama
pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti
Kombinasi
Obat Antimikroba
Pengobatan demam
tifoid dengan kombinasi obat antimikroba
tersebut diatas tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan dengan obat antimikroba tunggal, baik dalam hal
kemampuannya untuk menurunkan demam maupun dalam hal menurunkan angka kejadian pengekskresian kuman waktu sembuh (Tjokronegoro,
1996).
Obat- obat Simtomatik
Antipiretika
Antipiretika tidak
perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien demam tifoid, karena tidak banyak berguna. (Tjokronegoro, 1996)
Kortikosteroid
Pasien yang toksik
dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran
pasien menjadi
jernih dan suhu badan cepat turun sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa
indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan
intestinal dan relaps (Tjokronegoro,
1996).
Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil
Tidak semua obat
antimikroba yang biasanya digunakan untuk demam tifoid dapat diberikan pada wanita hamil. Kloramfenikol tidak boleh
diberikan pada trimester ketiga kehamilan, karena dapat menyebabkan partus prematur,
kematian fetus
intrauterin dan grey syndrome pada neonatus.
Tiamfenikol tidak
dianjurkan untuk digunakan pada trimester pertama kehamilan, karena memungkinkan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat
disingkirkan. Pada kehamilan yang lebih
lanjut, tiamfenikol dapat diberikan.
Ampisilin, Amoksisilin dan sefalosporin
generasi ketiga aman untuk wanita hamil dan fetus, kecuali bila pasien
hipersensitif terhadap obat tersebut.
Ko-trimoksazol dan fluorokinolin tidak boleh diberikan
pada wanita hamil.
Diagnosa
banding
Jika semua gejala
klinis klasik ditemukan, termasuk bintik merah muda, demam yang lama,
bradikardia relatif dan lekopenia, diagnosis tifoid akan cenderung sekali positif. Walaupun demikian sebagian kasus tidak
sesuai dengan gambaran khas ini.
Diagnosa banding
termasuk infeksi yang berkaitan dengan demam yang lama
seperti riketsiosis, brucelosis, tularemiaa, leptospirosis, tuberkulosis milier, hepatitis
virus, mononukleosis infeksiosa, infeksi sitomegalo virus dan malaria, demikian
pula penyebab bukan infeksi seperti limfoma.
Diagnosa
Laboratorium
1.
Uji bakteriologi
Diagnosa demam tifoid
secara pasti dapat ditegakkan dengan isolasi Salmonella typhi dari biakan yang secara rutin dilaksanakan. Namun
cara biakan ini membutuhkan waktu
yang agak lama dan kurang praktis. Biakan yang dapat digunakan yaitu:
1) Kultur darah
Kultur darah harus diambil
secepat mungkin. Kultur darah sering positif dalam minggu pertama penyakit.
2) Kultur susmsum tulang
a. Sangat sensitif (95%)
b.Tidak dipengaruhi oleh
pemberian antibiotika dan fase penyakit
c. Invasif (perlu tenaga ahli
biopsi sumsum tulang)
3) Kultur urine
Paling tinggi positif pada minggu II /
III diagnosa pasti atau " Carrier ".
4) Kultur tinja
Hasil positif
pada minggu II / III diagnosa pasti atau Carrier (Soewandoyo, 2002)
2.
Serologi
Berbagai macam
tes serologi untuk deteksi antibodi yaitu :
1) Tes Aglutinasi
Menurut (Soewandoyo, 2002) tes widal ada 2 metode:
Metode tabung
(standard)
Titer O tinggi dan atau tarjadi kenaikan titer 4 kali lipat dengan jarak waktu 7 hari pemeriksaan pertama
dan kedua (O lebih spesifik dan H). Hasil diperoleh setelah 2-3 hari.
Metode Slide
Lebih spesifik dari pada metode tabung, hasilnya
selesai dalam waktu 1 hari, Widal yang kurang spesifik karena menggunakan
antigen impor.
2). Tes ELISA
Deteksi antibodi, menggunakan Antigen O, H dan Vi.
Dapat mendeteksi antibodi Ig M, Ig A, dan Ig G Salmonella typhi.
Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA
tak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis
antigen yang dipakai.
Untuk meningkatkan kepraktisan uji ELISA, digunakan
tehnik dot-EIA yang memanfaatkan kertas nitroselulosa
sebagai fase padat yang memiliki kapasitas yang tinggi terhadap protein yang
dilapiskan. Sebagai akibatnya, sekali antigen dilekatkan pada
nitroselulose dan diblokade dengan bloking
buffer, ikatan tersebut dapat disimpan
dalam keadaan stabil selama beberapa bulan pada 4° C atau selama
beberapa tahun pada -70°C.
Bila sewaktu-waktu dibutuhkan,
dapat segera dipakai dengan menenteskan
serum pada dot tersebut dan selanjutnya
pemeriksaan akan selesai hanya dalam waktu 3-4 jam kerja.
Ig M (+) mennunjukkan demam
tifoid akut, Ig G (+) menunjukkan relaps atau infeksi ulangan.
Berbagai macam
tes serologi untuk deteksi antigen yaitu :
1) Tes koagulasi
a.
Digunakan antisera Vi ( Vi-KOAG ).
b.
Lebih cepat
daripada biakan kuman.
c.
2) Tes ELISA
Uji Elisa yang sering digunakan
untuk melacak antigen
adalah Double antibody sandwhich
ELISA dan menggunakan antibodi monoklonal
terhadap salmonella 0-9 untuk melacak antigen
Salmonella typhi dalam urine atau plasma penderita.
Uji Widal
1.
Pengertian
Uji widal merupakan uji aglutinasi yang
menggunakan suspense kuman Salmonella typhi
dan Salmonella paratyphi sebagai antigen untuk mendeteksi
adanya antibodi terhadap S. typhi atau paratyphi didalam serum penderita (Handojo, 2004).
Uji widal adalah suatu reaksi
antigen dan antibodi (aglitinnin).
Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella terdapat dalam serum pasien demam tifoid, juga pada orang yang
pernah ketularan salmonellla dan para orang
yang pernah divaksinasi terhadap
demam tifoid.
2.
Prinsip
Uji widal prinsipnya adalah suatu
uji aglutinasi yang memakai
sebagai antigen, suspensi kuman (tak
larut) yang direaksikan dengan antibodi
spesifik terhadap kuman tersebut yang ada
didalam serum penderita.
3.
Tujuan
Menentukan adanya antibodi
(aglutinin) dan menentukan titer antibodi (aglutinin) terhadap kuman Salmonella
typhosa.
4.
Kegunaan
Diagnosa typhus
abdominalis (typhoid fever). Antibodi yang diperiksa adalah antibodi terhadap antigen O Salmonella typhosa (IgM) dan antibodi
terhadap antigen H Salmonella typhosa
(IgG).
5.
Prosedur pemeriksaan uji widal cara tabung
Alat dan bahan
1). Tabung beserta rak
2). Pipet
3). Inkubator
4). PZ
5).
Antigen O Salmonella
typhi
6).
Antigen H Salmonella
typhi
Cara kerja:
1.
Sediakan 2 deret tabung pada rak.
2.
Buat pengenceran serum pada 2 deret tabung dimulai dari pengenceran
1:10 dengan volume masing-masing pengenceran 0,5 ml.
3.
Sediakan pada masing-masing tabung untuk control yang diisi dengan 0,5 ml PZ.
4.
Pada masing-masing deret 1, tambahkan 0,5 ml suspense antigen O Salmonella typhosa, dan
pada masing-masing tabung deret 2 tambahkan 0,5 ml suspensi antigen H Salmonella typhosa.
5.
Setelah dicampur dengan baik, inkubasi pada incubator 37°C selama 24-48 jam.
6.
Setelah inkubasi
selesai, ada tidaknya aglutinasi pada masing-masing
tabung dengan jalan membandingkan dengan tabung kontrol (tabung
kontrol harus tidak ada aglutinasi).
7.
Adanya aglutinasi
ditandai dengan adanya gumpalan yang mengendap.
8.
Apabila tabung dengan aglutinasi positif kita hentakkan,maka gumpalan tadi akan pecah.
9.
Pada tabung yang ditambah Ag O Salmonella typhosa, pecahnya gumpalan menjadi bagian
yang kasar (pasir).
10.
Sedangkan pada
tabung yang ditambah Ag H Salmonella typhosa, pecahnya gumpalan menjadi bagian
yang lebih halus
(diibaratkan seperti
Kelemahan uji widal
Antigen
1) Strain S. typhi yang
dipakai dapat mempengaruhi pada hasil uji widal. Antigen yang dibuat dari strain S .typhi yang bukan dari daerah endemis yang bersangkutan
dapat memberikan hasil yang positif atau negatif semu. Kemungkinan adanya reaksi silang dengan kuman lain juga
perlu diperhatikan, sehingga dapat memberikan hasil yang positif palsu.
2)
Kekeruhan suspensi antigen
yang kurang tepat
dapat menimbulkan fenomena prozone maupun postzone. Biasanya dipakai derajat kekeruhan 3 U Mc.
Farland. Cara yang terbaik adalah spektrofotometris, nefelometris, atau tubidimetris.
Kadar aglutin dalam serum
Kadar aglutin dalam serum yang
amat tinggi dapat menimbulkan fenomena prozone sehingga dapat
menyebabkan kesalahan dalam pembacaan hasil.
Cara pembacaan hasil uji widal
Pembacaan dilakukan dengan mata
telanjang sehingga amat subyektif dan dapat memberikan ketidaksesuaian hasil pembacaan yang cukup besar.
Warna aglutinat
Umumnya tidak berwarna sehingga dapat menyukarkan pembacaan hasil uji widal.
Faktor yang mempengaruhi uji widal
1). Faktor yang berghubungan dengan pasien
a.
Keadaan umum, gizi buruk mempengaruhi pembentukan antibodi.
b.
Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit, agglutinin baru dijumpai dalam darah setelah
pasien sakit selama 1 minggu dan
mencapai puncaknya pada
minggu 5-6 penyakit.
c.
Pengobatan dini
dengan antibiotik, beberapa
peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan
antimikroba menghambat pembentukan antibodi, tetapi peneliti
lain menentang pendapat ini.
d.
Penyakit tertentu, pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, missal pada leukemia dan karsinoma lanjut.
e.
Obat imunosupresi
dan cortikosteroid, obat ini menghambat antibodi karena supresi RES.
f.
Vaksinasi dengan kotipa
atau tipa, pada
orang yang divaksinasi titer antibodi O dan H meningkat. Aglitinin O biasanya menghilang setelah 6
bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglitinin H menurun perlahan-lahan selama 1-2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada
seseorang yang pernah
divaksinasi kurang mempunyai
nilai diagnostik.
g.
Infeksi klinis atau
subklinis karena infeksi
kuman salmonella sebelumnya, keadaan ini dapat memberikan uji widal positif,
walaupun dengan titer rendah.
Didaerah endemik tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang sehat.
h.
Reaksi anamnestik adalah keadaan dimana terjadi kenaikan
titer aglutinin terhadap S. typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan demam tifoid pada seseorang yang pernah divaksinasi atau ketularan salmonella pada masa lampau.
titer aglutinin terhadap S. typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan demam tifoid pada seseorang yang pernah divaksinasi atau ketularan salmonella pada masa lampau.
2). Faktor-faktor tehnis
a.
Aglutmasi silang.
Karena
beberapa spesies salmonella dapat mengandung
antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat
juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada
spesies lain. Oleh karena itu spesies salmonella penyebab infeksi tidak
dapat ditentukan dengan uji widal.
b.
Konsentrasi suspensi antigen.
Konsentrasi
suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya
c.
Strain salmonella
yang digunakan sebagai suspensi antigen.
Ada
peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella
setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini bersifat observation crossectional study yaitu metode penelitian yang menganalisis data yang
diperoleh pada saat tertentu tanpa melakukan perlakuan. Tujuan penelitian adalah Mengetahui perbandingan prevalensi uji widal
cara tabung pada penderita demam tifoid yang diperiksa di Laboratorium Prodia
Malang selama periode September 2008 sampai Februari 2009 dan Maret 2009 sampai
Agustus 2009.
Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang
memeriksakan titer antibodi O dan H terhadap kuman Salmonella typhi ke Laboratorium Prodia malang. Sampel penelitian
adalah seluruh pasien dengan titer agglutinin O dan H positif terhadap kuman Salmonella typhi yang datang di Laboratorium Prodia malang.
Rancangan Analisa
1.
Data diambil dengan
menghitung seluruh pasien yang memeriksakan
titer antibodi terhadap kuman Salmonella typhi.
titer antibodi terhadap kuman Salmonella typhi.
2.
Menghitung jumlah
persentase pasien yang positif titer aglutinin O dan
H terhadap kuman Salmonella typhi.
H terhadap kuman Salmonella typhi.
3.
Menghitung
perbandingan titer antibodi terhadap kuman Salmonella typhi di Laboratorium
Patologi klinik RSU dr. Soetomo Surabaya pada bulan September 2008 - Februari 2009 dan Maret 2009- Agustus 2009.
Analisa data yang diperoleh berupa
data sekunder yaitu data yang diperoleh tanpa melakukan pengumpulan data sendiri. Data tersebut dianalisis dan dihitung secara statistik menggunakan
persentase dan uji chi square.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengamatan Pemeriksaan Uji Widal Periode September 2008 – Februari 2009Di
Laboratorium Prodia Malang.
Berdasarkan hasil pengamatan, data menunjukkan dari
263 penderita yang memeriksakan uji widal dengan hasil positif sebanyak 8 orang
atau sekitar 1,39% dan hasil negatif sebanyak 255 penderita atau sekitar 44,43%
(data terlampir).
Hasil
Pengamatan Pemeriksaan Uji Widal Periode Maret 2009– Agustus 2009 di
Laboratorium Prodia Malang 2009.
Berdasarkan hasil pengamatan, data
menunjukkan dari 311 penderita yang
memeriksakan uji widal dengan hasil positif sebanyak 6 orang atau sekitar
1,045% dan hasil negatif sebanyak 305 penderita atau sekitar 53.1%
Tabel 1.Distribusi Pemeriksaan Uji Widal di Laboratorium Prodia Malang.
Periode
|
Positif
|
Negatif
|
Total
|
Sept 08 – Feb 09
|
8 17.5
|
255 595.4
|
263
|
Mar 09 – August 09
|
6 11.1
|
305 565.9
|
311
|
Total
|
14
|
560
|
574
|
Tujuan: untuk menunjukkan adanya perbedaan atau
persamaan dari kedua data tersebut.
Rumus: Xo2 = α . df
Kriteria:
df = ( b – l ) ( k – l )
= ( 2 – 1 ) ( 2 – 1 )
= 1
Untuk α = 0,05 dan dk = 1,
maka Xo2 = 3,841
Keterangan
:
Xo2 : Titik
kritis
α : Derajat
kemaknaan (level of significant)
b : Baris
k : Kolom
df :
Derajat kebebasan
Hipotesis
:
X2 > Xo2 = H
> Ho, Berarti ada perbedaan antara 2 periode tersebut.
X2 < Xo2 =
H < Ho, Berarti tidak ada perbedaan
antara 2 periode tersebut.
Berdasarkan
perhitungan statistik diperoleh hasil X2 adalah 0,74 dan X02 adalah 3,841
atau X2 <
X02 , berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna
antara perubahan musim dengan hasil diagnosis demam tifoid.
Pembahasan
Data yang diperoleh dari
Laboratorium Prodia Malang, sebanyak 574 orang yang
memeriksakan uji widal. Pada bulan September 2008 sampai dengan
Februari 2009 data
menunjukkan dari 263
penderita yang memeriksakan
uji widal dengan hasil positif sebanyak 8 orang atau sekitar 1,39% dan hasil negatif sebanyak 255 penderita atau sekitar
44,43% (data terlampir). Sedangkan pada
bulan Maret sampai Agustus 2009 data menunjukkan dari 311 penderita yang
memeriksakan uji widal dengan hasil positif sebanyak 6 orang atau
sekitar 1,045% dan hasil negatif sebanyak 305 penderita atau sekitar 53,1% .
Berdasarkan data tersebut dapat dijelaskan bahwa perbandingan uji widal pada periode September 2008-Februari 2009
di Laboratorium Prodia Malang lebih tinggi
dibandingkan pada periode Maret 2009- Agustus 2009 dilaboratorium yang sama.
Uji widal di Labolatorium ini
dikatakan positif bila titer yang masih menunjukkan aglutinasi lebih besar atau sama dengan 1/160
dan dikatakan negatif bila titer
aglutinasi dibawah 1/160. Setelah dilakukan uji statistik diperoleh kesimpulan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara perubahan musim dengan jumlah pemeriksaan demam tifoid dan
hasil diagnosis demam tifoid.
Salmonella
typhi sebagai kuman penyebab demam
tifoid dapat menyerang sepanjang tahun sehingga permintaan pemeriksaan uji
widal juga selalu ada sepanjang tahun. Selain itu juga demam tifoid tidak
dipengaruhi oleh perubahan musim yang terjadi di daerah tersebut namun
dipengaruhi oleh kebersihan diri dan lingkungan seseorang. Pada setiap musim
pasti ada yang rawan menjadi penyebab demam tifoid, banyaknya lalat pada musim
hujan dan banyaknya debu yang beterbangan pada musim kemarau merupakan salah
satu contoh rawannya kasus demam tifoid pada musim tersebut. Penyakit ini
secara umum dipengaruhi oleh kebersihan diri dan lingkungan, semakin seseorang
itu menjaga kebersihan diri dan lingkungannya maka orang tersebut juga akan
semakin terhindar dari resiko demam tifoid.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan perhitungan statistik diperoleh kesimpulan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara jumlah penderita demam tifoid di Laboratorium Prodia
Malang pada 2 periode tersebut. Hal ini dapat dikarenakan mudahnya penularan
penyakit demam tifoid antara penderita yang satu dengan yang lain.
Musim tidak berpengaruh terhadap jumlah penderita
demam tifoid, hal ini dikarenakan kebersihan diri dan lingkunganlah yang
merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit demam tifoid dan kedua
faktor itu tergantung pada pengetahuan dan kesadaran diri setiap individu untuk
menjaganya setiap waktu
Saran
Untuk memberikan hasil uji widal yang akurat,
pemeriksaannya tidak hanya dilakukan 1 kali saja melainkan perlu satu seri
pemeriksaan. Kenaikan titer widal pada satu seri pemeriksaan widal atau
kenaikan titer 4 kali pada pemeriksaan selanjutnya dapat membantu memastikan
diagnosis demam tifoid.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad H,
Asdjie. 1999. Horison Prinsip Penyakit Dalam. Jakarta. EGC.
Carrick
A, 1983, Diagnosa Demam Tifoid Edisi I,
Surabaya, Airlangga University Pers.
Gam, Harson. 1992. Terapan pada antigen OMP, Edisi II. Jakarta
Erlangga.
Handojo, I. 2004. Imunoassay Terapan pada Beberapa Penyakit
Infeksi. Edisi I.Surabaya. Airlangga
University Pers.
Jawetz, Melnick &
Adel berg's. 2001. Mikrobiologi
kedokteran. Edisi 1. Jakarta. Salemba medika.
Puspha Wardani,
Prihatini, Probohoesodo, MY. 2005. Kemampuan
Uji Tabung Widal
Menggunakan Antigen
Impor dan Antigen
Lokal. Indonesian journal of clinical pathologi & medical
labolatory.
Soewandoyo, I
Soeharto. 2002. Seri Penyakit
Tropik Infeksi Perkembangan Terkini dalam
Pengelolaan beberapa
Penyakit Tropik Infeksi. Edisi 1. Surabaya. Airlangga University Pers.
Saleh, samsubar. 1986. Statiatik non parametrik.Edisi l.Yogyakarta.BPFE.
Spfegel,murray
R.2004. Statistik.Edisi 3.
Jakarta.Erlangga.
Tjokronegoro,
A dkk. 1996. Ilmu penyakit dalam, Edisi 3.
Jakarta. FKUI.