Jurnal Faiq


PERBANDINGAN UJI WIDAL CARA TABUNG DI LABORATORIUM PRODIA MALANG TAHUN 2008 DAN 2009” DENGAN TEPAT WAKTU

Oleh
Muh. Faiq Rofiqi
Dosen AAKMAL Malang

INTISARI

Tujuan penelitian adalah Mengetahui perbandingan prevalensi uji widal cara tabung pada penderita demam tifoid yang diperiksa di Laboratorium Prodia Malang  periode September 2008 sampai Februari 2009 dan Maret 2009 sampai Agustus 2009.
Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang memeriksakan titer antibodi O dan H terhadap kuman Salmonella typhi ke Laboratorium Prodia malang. Sampel penelitian adalah seluruh pasien dengan titer agglutinin O dan H positif terhadap kuman Salmonella typhi yang datang di Laboratorium Prodia malang.
Analisa data yang diperoleh berupa data sekunder yaitu data yang diperoleh tanpa melakukan pengumpulan data sendiri. Data tersebut dianalisis dan dihitung secara statistik menggunakan persentase dan uji chi square.
Hasil penelitian ini dapat disimpulankan bahwa tidak terdapat perbedaan yang  bermakna antara jumlah penderita demam tifoid di Laboratorium Prodia Malang pada 2 periode tersebut. Hal ini dapat dikarenakan mudahnya penularan penyakit demam tifoid antara penderita yang satu dengan yang lain
Kata kunci: prevalensi uji widal,  cara tabung, demam tifoid

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik, bersifat endemis dan masih merupakan, masalah kesehatan masyarakat yang penting disebagian negara berkembang di dunia termasuk Indonesia. Hal ini berkaitan erat dengan higiene perorangan dan sanitasi lingkungan yang kurang baik, serta persediaan air minum yang kurang memenuhi persyaratan kesehatan (Soewandoyo, 2002).
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada kesesuaian faham mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus demam tifoid. Ada penelitian yang mendapatkan peningkatan di musim hujan, ada yang mendapatkan peningkatan demam tifoid di musim kemarau dan ada pula yang mendapatkan peningkatan di peralihan musim hujan dan musim kemarau (Tjokronegaro, 1996).
Penanggulangan demam tifoid, disamping penyuluhan kesehatan dan vaksinasi, pencarian kasus yang diikuti oleh pengobatan yang dini dan adekuat merupakan kunci utama keberhasilan pengendalian penyakit ini, terutama dalam mematahkan rantai penularan penyakit dan mencegah komplikasi (Handojo, 2004).
Untuk keperluan pencarian kasus tersebut, dibutuhkan sarana diagnosis yang andal, dapat memberikan diagnosis yang dini, praktis dan tidak mahal. Diagnosis pasti demam tifoid adalah ditemukan kuman penyebab demam tifoid yaitu Salmonella typhi. Namun diagnosis dengan cara mengisolasi kuman Salmonella typhi, memerlukan waktu yang cukup lama dan tidak semua labolatorium mampu melaksanakan. Diagnosis demam tifoid sering ditegakkan hanya dengan berdasarkan gejala klinis dan tes serologi saja (Handojo, 2004).
Uji widal merupakan salah satu uji serologi yang sampai saat ini masih digunakan secara luas, terutama dinegara berkembang termasuk Indonesia. Uji widal dapat dilakukan dengan metode tabung atau dengan metode slide. Uji widal cara slide dapat dikerjakan lebih cepat dibandingkan dengan uji widal cara tabung tetapi ketepatan dan spesifitas uji widal cara tabung lebih baik dibandingkan uji widal cara slide. Hal tersebut dikarenakan uji widal cara tabung menggunakan antigen S.typhi dari daerah endemis setempat sedangkan uji widal cara slide sebagian besar menggunakan antigen bukan dari daerah setempat (Puspa W, 2005).
Oleh karena itu dalam tugas akhir ini penulis membahas masalah demam tifoid, pengaruh musim terhadap jumlah pasien penderita demam tifoid di Laboratorium Prodia Malang selama periode September 2008 sampai Agustus  2009, dan untuk mengetahui prevalensi uji widal cara tabung di Laboratorium Prodia Malang selama periode September 2008 sampai Februari 2009 dan Maret 2009 sampai Agustus 2009, dimana data tersebut merupakan data penting untuk upaya pencegahan lebih lanjut.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan penelitian ini adalah
1). Bagaimana perbandingan uji widal cara tabung pada penderita demam tifoid yang diperiksa di Laboratorium Prodia Malang periode September 2008 sampai Februari 2009 dan Maret 2009sampai Agustus  2009?
2). Bagaimana pengaruh perbedaan musim kemarau dan musim hujan terhadap jumlah penderita demam tifoid?

Tinjauan Pustaka
Demam Tifoid
1                   . Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi ditandai dengan demam yang berkepanjangan (lebih dari satu minggu), gangguan saluran cerna dan gangguan kesadaran (Puspa W, 2005).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi, salah satu serotipe bakteri gram negatif: salmonella. Beberapa serotipe lain yaitu S.paratyphi A, B dan C. Gejala klinik sama dengan demam tifoid, sehingga tatalaksananya juga sama (Soewandoyo, 2002).
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus. Demam paratifoid secara umum lebih ringan dan menunjukkan manifestasi klinis yang sama atau menyebabkan enteris akut (Tjokronegoro, 1996).
Demam tifoid adalah demam sistemik akut yang nyata pada fagosit mononuklear dan membutuhkan tatanama yang terpisah, karena dapat disebabkan oleh beberapa spesies (S. tiyphi, S. Paratyphi A dan B serta kadang-kadang S. Typhimurium) (Ahmad H, 1999).
2. Etiologi
Penyebab dari demam tifoid adalah Salmonella typhi. Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif yang termasuk dalam famili Enterobakteriaceae, bergerak dengan perithrichous flagela, bersifat anaerobik fakultatif, tidak berspora, hampir tidak pernah memfermentasi laktosa maupun sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari glukosa dan manosa, berkemampuan untuk invasi,  hidup dan berkembang biak di sel kariotik.
Selain itu Salmonella typhi juga mempunyai beberapa antigen: antigen O, antigen H, antigen Vi, Outer membran protein terutama porin OMP dan Heat shock protein (HSP) (Handojo, 2005).
1) Antigen O (somatik antigen)
Merupakan bagian terluar dinding sel lipopolisakarida dan terdiri dari unit berulang polisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C selama 2-5 jam, alkohol dan asam encer tetapi tidak tahan formaldehid. Antibodi terhadap antigen O adalah Ig M. Lipopolisakarida dari antigen O ada 3 regio sebagai berikut (Carrick, 1983).
a.    Regio 1, mengandung antigen O spesifik atau antigen dinding sel dan merupakan polimer dari unit oligosakarida yang berulang-ulang. Antigen O ini berguna untuk pengelompokan serologis.
b.     Regio 2, terikat pada antigen O yang terdiri dari core  polysacarida serta merupakan sifat yang konstan dalam suatu genus Enterobakteriaceae tetapi berbeda antara genera.
c.    Regio 3, mengandung lipid A yang terikat pada core polysakarida yang merupakan bagian yang toksin dari molekul.  Lipid A ini menempelkan lipopolisakarida
pada permukaan sel.
2) Antigen H
Merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae, atau fili S.typhi dan berstruktur kimia protein. Salmonella typhi mempunyai antigen H phase 1 tunggal yang juga dimiliki oleh beberapa salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan diatas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam. Antigen H tahan terhadap formalin. Antigen H mengadakan aglutinasi dengan antibodi H, biasanya Ig G (Handojo, 2004).
3) Antigen Vi
Terletak pada kapsul (envelop) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut diatas, didalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin         (Handojo, 2004).
4) Otither Membran Protein (OMP)
Merupakan bagian dinding sel yang terletak diluar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitar. OMP berfungsi sebagai barier fisik yang mengendalikan masuknya zat dan cairan kedalam membran sitoplasma. Disamping itu OMP juga berfungsi sebagai reseptor untuk bakteriofaga dan bakteriolisin. OMP dibagi menjadi 2 bagian:
a.    Porin, merupakan komponen utama dan OMP, terdiri dari
protein Omp C, Omp D, dan Omp F. Porin merupakan
saluran   hidrofobik   yang  berfungsi   untuk  difusi   solute dengan   berat   molekul   lebih   kecil   dari   6000.   Porin mempunyai    sifat    resisten    terhadap    proteolisis    dan denaturasi pada suhu di bawah 85-100°C.
b.    Protein nonporin terdiri dari protein Omp A, protein A, dan
lipoprotein, mempunyai sifat sensitif terhadap protease.
Fungsi   dari   protein  nonporin   masih   belum   diketahui dengan jelas (Gam, 1992).
5) Heat Shock Protein (HSP)
Merupakan protein yang diproduksi oleh jasad renik dalam lingkungan yang terus berubah, terutama yang menimbulkan stress. Pada jasad renik tersebut dalam usaha untuk dapat mempertahankan hidup. Disamping potensi biologis HSP mempunyai daya imunogenik yang cukup besar sehingga dapat menimbulkan respon imun, baik selular maupun humoral, baik protektif maupun nonprotektif. Atas dasar ini, maka HSP dapat dipakai baik untuk keperluan diagnostik maupun keperluan preventif.
Salmonella typhi bila menginfeksi manusia juga akan memproduksi HSP. Setelah masuk dalam tubuh manusia, S. Typhi mengalami perubahan suhu sekitar 37°C. Selanjutnya basil tersebut akan mengalami fagositosis dan pemaparan terhadap radikal oksigen dan enzim proteolitik di dalam makrofag pada suhu yang lebih tinggi.
Untuk dapat mempertahankan hidup didalam makrofag pada suhu yang lebih tinggi, S. typhi akan mensintesis HSP (Buchmeier, 1990; Ensgraber, 1992).

3.  Epidemiologi
Demam tifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologis belum diketahui secara pasti (Tjokronegoro, 1996).
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah (Tjokronegoro, 1996).
Penyakit ini mula-mula banyak didapatkan di kota-kota besar yang padat penduduk, kemudian dengan kemajuan alat transportasi menyebar kepedesaan dan saat ini merupakan penyakit endemis dibeberapa kota besar di Indonesia (Soewandoyo, 2002).
Pada perbaikan sanitasi lingkungan di Amerika Serikat, insidensi tifoid telah menurun secara bertahap. Dibandingkan dengan tahun 1920 saat hampir 36.000 kasus ditemukan, angka tahunan kini kira-kira 500. Lebih dari 80% kasus ini adalah kasus tifoid aktif, dan yang lain adalah karier konvalesen. Usia pasien rata-rata 24 tahun, sementara usia median karier adalah lebih dari 60 tahun. Data yang dikumpulkan oleh Center for disease Control and Prevention (CDC) memperlihatkan bahwa insiden di Amerika Serikat menurun lima kali lipat dari tahun 1955 sampai tahun 1966, dari 1 per 100.000 menjadi 0,2 per 100.000 penduduk, dan tetap bertahan demikian hingga saat itu. Pada saat bersamaan, perbandingan infeksi didapat diluar negeri meningkat dari 33% pada tahun 1960-an menjadi lebih dari 60% pada tahun 1980-an dan berlanjut meningkat (Ahmad H, 1999).
Meksiko adalah sumber utama bagi orang Amerika, mencakup 39% kasus mulai dari tahun 1975 sampai 1984, walaupun beresiko bagi pelancong pergi ke Peru, Chile, India, dan Pakistan. Tempat penjangkitan utama tifoid adalah Alexandria, Mesir, Jakarta, Indonesia, dan Santiago, Chili (Ahmad H, 1999).

4   Cara Penularan Demam Tifoid
Sumber penularan demam tifoid secara umum tidak dapat ditemukan. Ada 2 sumber penularan S. Typhi : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman per gram ginjal (Tjokronegoro, 1996).
Didaerah endemik transmisi melalui air yang tercemar. Makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah nonendemik.
Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman S.typhi berada didalam kandung empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat, akibat radang menahun (Tjokronegoro, 1996).

5. Patogenesis dan Patofisiologi
1). Kuman S.Typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang terkontaminasi dengan S. typhi (Soewandoyo, 2002).
a.    Melewati   barier asam lambung (menurunnya derajat keasaman   asam   lambung   makanan   bersifat   basa, antasida), achlorhydria. Sebagian  kuman dimusnahkan oleh asam lambung.
b.    Melewati  barier  usus  halus  dan  mencapai jaringan limfoid   plaque   peyeri   di   ileum   terminalis   yang mengalami    hipertrofi. Ditempat ini  komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi.
c.    Kuman Salmonella typhi kemudian menembus lamina
propria, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe
mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi.
d.    Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini S. typhi masuk aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman S. Typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus.
2)  S. typhi bersarang di plaque peyeri, limfe, hati dan bagian-bagian  lain sistem
retikuloendotelial (Soewandoyo, 2002).
3) Bakterimia 1 terjadi 24-72 jam setelah inkubasi.
4) Sebagian S. typhi di dalam makrofag keluar dari sirkulasi masuk kedalam jaringan
organ  nonlimfoid  dan  berkembang biak didalamnya (Soewandoyo, 2002).
5) S.typhi yang ada di dalam makrofag dapat bertahan  hidup dan   berkembang biak
    dalam fagosom makrofag. Sel   akhirnya   akan   mengalami  lisis, S.  typhi keluar
     keperedaran darah umum, terjadi bakteremia ke 2, yang disertai dengan gejala klinis demam, nyeri kepala, otot sendi, dll.
Gejala klinis ini disebabkan oleh pengaruh endotoksin pada hipotalamus, maupun pengaruh sitokin pro inflamasi yang diproduksi oleh makrofag yang terinfeksi S. typhi (Soewandoyo, 2002).

Gambaran Klinis
            Demam tifoid secara umum menyerang penderita kelompok umur    5-60 tahun, laki-laki maupun wanita. Jarang pada usia dibawah 2 tahun maupun diatas 60 tahun (Soewandoyo, 2002).
Pada anamnesis, saat masuk rumah sakit didapatkan keluhan utama adalah demam, yang diderita 5-7 hari, yang tidak berhasil diobati dengan antipiretika. Demam bersifat bertahap makin naik setiap hari sampai dengan 40-41°C, disertai dengan lemah badan, malas, nyeri kepala, nyeri otot punggung dan sendi, perut kembung kadang-kadang nyeri, obstipasi, mual, muntah dan batuk.
Ciri utama demam tifoid adalah demam menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak diobati). Perlu ditanyakan apakah penderita berasal dari atau bapergian ke daerah endemis demam tifoid. Kebiasaan makan-minum (kerang, ice cream dan air mentah). Perlu juga ditanya apakah pernah menjalani vaksinasi demam tifoid.
Manifestasi klinis demam tifoid yaitu penderita nampak lesu, letih, wajah kosong. Kadang-kadang penderita nampak gelisah dan koma. Gejala lain yang dapat dijumpai yaitu demam bradikardi relatif, pendengaran menurun, tifoid tongue, rose spots, bronchitic chest, tidak enak perut, kembung, hepatomegali dan splenomegali.
Ciri khas utama demam tifoid yang tidak dirawat adalah demam tinggi yang menetap, anoreksia berat, penurunan berat badan, dan perubahan pada sensorik, tetapi dapat terjadi berbagai penyulit lain termasuk hepatitis, meningitis, nefritis, miokarditis, bronkitis, pneumonia, artritis, oesteomielitis, parotitis dan orkitis. Kecuali kekambuhan, jumlah penyulit ini, termasuk perdarahan dan perforasi, dapat dikurangi dengan penggunaan antibiotik yang tepat (Ahmad H, 1999).
S. typhi yang resisten terhadap obat, lebih cenderung terjadi prevalen pada banyak negara endemik. Pasien ini memberikan gejala pada pasien kesakitan yang lebih berat, hepatomegali, dan peningkatan angka kematian 3 kali lipat yang dianggap berkaitan dengan lama kesakitan yang lebih panjang dan terapi antibiotik oral sebelumnya yang tidak efektif (Ahmad H, 1999).
Demam tifoid ada 4 fase yang dialami oleh penderita, yaitu:
1).Fase prodromal (minggu 1)
Pada fase ini masih belum ada tanda-tanda gejala penyakit, terjadi pada minggu pertama (dari mulai penderita terinfeksi kuman) sampai awal minggu kedua. Pada fase inilah terjadi bakterimia, yaitu masuknya bakteri pada aliran darah.
2).Fase klinis (minggu II)
Baru pada fase ini, terlihat gejala-gejala klinis dari penyakit demam tifoid, tetapi pada fase ini mulai turun bakterimianya. Gejala-gejala klinis yang rnulai nampak diantaranya adalah: pusing, panas (dapat mencapai 40°C), denyut nadi lemah (antara 80-100 per menit), malaise, anoreksia, perut terasa tidak enak, diare dan sembelit yang silih berganti, sehingga meski spesifik tetapi jarang ditemukan.
3).Fase komplikasi (minggu III)
Fase komplikasi ini adalah fase yang paling membahayakan karena pada fase ini terjadi komplikasi-komplikasi lain yang mungkin jauh lebih membahayakan dan penyakit itu sendiri. Sering pula terjadi, dimana penyakit demam tifoidnya sendiri sudah sembuh, tetapi timbul penyakit yang baru lagi, yang merupakan komplikasi dari penyakit demam tifoid. Komplikasi-komplikasi yang sering ditimbulkan dari demam tifoid adalah peradangan usus (usus menjadi berlubang) sehingga terjadi peritonitis (terjadi radang peritoneum, dikarenakan isi usus keluar atau bocor keruang peritoneum). Komplikasi serius yang sering terjadi adalah perdarahan dan perforasi usus halus, penyulit lain yang dapat berakibat fatal termasuk sepsis, kholesistitis nekrotik, nefritis, meningitis, pnemonia dan miokarditis. Selain itu komplikasi lain adalah terjadinya septisemi, yaitu dikarenakan endotoksin yang dihasilkan oleh kuman Salmonella typhi sehingga penderita berak darah. Pada sepsis sering diserti syok, septic dan kematian penderita. Sepsis daripada demam tifoid dapat merupakan dampak endotoksemia. Endotoksin dari debris Salmonella typhi dapat menimbulkan gangguan sikulasi perifer dan ganggguan multi organ.
4).Fase penyembuhan (minggu IV)
Fase ini adalah fase akhir dari demam tifoid, yaitu merupakan perjalanan menuju sembuh, jadi fase ini adalah fase yang paling aman dari demam tifoid, fase ini terjadi bila si penderita diberi pengobatan dan tanpa terjadi komplikasi serta telah dapat diatasi.
Komplikasi-komplikasi
Menurut (Tjokronegoro, 1996) komplikasi   demam   tifoid   dapat   dibagi   dalam:
1) Komplikasi intestinal
a.   Pendarahan usus
b.   Perforasi usus
c.   Ileus paralitik
2) Komplikasi ekstra-intestinal
a.   Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis), miokarditis, thrombosis dan tromboflebitis.
b.   Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau disseminated intravaskular coagulation (DIC) dan sindrom uremia hemolitik.
c.   Komplikasi paru: pnemonia, empiema dan pleuritis.
d.   Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritia.
e.   Komplikasi hepar dan kandung empedu: hepatitis dan kolesistitis. Komplikasi tulang: oesteomielitis, periostitis, spondilitis dan artritis.
f.    Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis,   polineuritis   perifer,   sindrom   Guillain- Barre, psikosis dan sindrom katatonia.
Komplikasi sering terjadi pada keadaan toksemia berat, dan kelemahan umum, terutama bila perawatan pasien kurang sempurna.

Pencegahan dan Pengendalian Demam Tifoid
1)   Orang Sehat
a.   Pengawasan   higiene   dan   sanitasi   lingkungan hidup.
o   Perlu adanya WC umum.
o   Persediaan air bersih.
o   Tempat buangan sampah rumah tangga.
b.   Pengawasan higiene makanan dan minuman.
o   Memasak makanan
o   Merebus air minum
o   Hati-hati minum es ( es krim )
o   Cara penyajian makanan
c.   Higiene perorangan.
o   Cuci tangan
o   Buang air besar dan kecil ditempat khusus ( WC ).
2)   Vaksinasi
Syarat vaksin : efektif, mudah penggunaannya, aman dan murah. Dianjurkan untuk wisatawan ke daerah endemis dan pekerja laboratorium.
Berbagai macam vaksinasi yaitu :
a.Acetone Inactivated Vaccine
1.      Kuman mati
2.    Ada 2 vaksin: K-acetoneinactivated vaccine dan L-heat phenol inactivated vaccine.
·      Efectivitas 51-88%
·      Efek samping: 32-54%, berupa demam, sakit kepala, dan reaksi lokal tempat suntikan.
·      Cara  pemberian:  0,5  cc  vaksin subcutan disusul 7-10 hari lagi Ice subkutan.
·      Efektif minimal 1 tahun.
b.Oral live "attenuated" vaccine ( TY2211a )
1.      Kuman hidup, dilemahkan.
2.      Imunitas 3-6 tahun.
3.      Berhasil diuji coba di Chili dan Mesir tetapi gagal di Indonesia.
4.      Booster 5 tahun kemudian.
c.Vi parental vaksin
1.       Polysacharide high-purified antigencfraction Vi-antigen.
2.       Booster setelah 3 tahun.
3.       Dapat diberikan pada anak > 6 bulan.
4.       Dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lain dalam 1 alat suntik.
          
Pengobatan
Menurut (Tjokronegoro, 1996) pengobatan dalam  tifoid terdari atas 3  bagian yaitu: Perawatan
Pasien demam tifoid perlu dirawat dirumah sakit untuk observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.

1)   Diet
Dimasa lampau pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus: karena ada pendapat, bahwa usus perlu diistirahatkan. Banyak pasien tidak menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya makan sedikit, keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa penyembuhannya menjadi lama.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk. pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi, maka selain macam/bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien sendiri apakah mau makan bubur saring, bubur kasar atau nasi dengan lauk pauk rendah selulosa.
2)   Obat
Obat-obat anti mikroba yang sering dipergunakan adalah :
a.    Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk demam tifoid. Belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat didandingkan kloramfenikol.
Dosis untuk orang dewasa 4 kali 500 mg sehari oral atau intravena, sampai 7 hari bebas demam. Penyuntikan kloramfenikol suksinat intramuskular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dengan menggunakan kloramfenikol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5 hari.
b.    Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol. Komplikasi hematologis pada penggunaan tiamfenikol lebih jarang daripada kloramfenikol. Dengan tiamfenikol demam pada demam tifoid turun setelah rata-rata 5-6 hari.
c.    Ko-trimoksazol
Efektifitas ko-trimoksazol kurang lebih sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa 2 kali 2 tablet sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam (1 tablet mengandung 80 gr trimetoprim dan 400 mg sulfametoksazol).  Dengan ko-trimoksazol demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 5-6 hari.
d.    Ampisilin dan amoksisilin
Dalam hal kemampuan untuk menurunkan demam, efektifitas ampisilin dan amoksisilin lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol. Indikasi mutlak penggunaanya adalah pasien demam tifoid dengan leukopenia. Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kg berat badan sehari, digunakan sampai 7 hari bebas demam. Dengan ampisilin atau amoksisilin demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah 7-9 hari.
e.    Sefalosrorin generasi ketiga
Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa sefalosrorin generasi ketiga antara lain sefoperazon, seftriakson dan sefotaksim efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti.
f.     Fluorokinolon
Fluorokinolon efektif untuk demam tifoid, tetapi dosis dan lama pemberian yang optimal belum diketahui dengan pasti
Kombinasi Obat Antimikroba
Pengobatan demam tifoid dengan kombinasi obat antimikroba tersebut diatas tidak memberikan keuntungan dibandingkan dengan pengobatan dengan obat antimikroba tunggal, baik dalam hal kemampuannya untuk menurunkan demam maupun dalam hal menurunkan angka kejadian pengekskresian kuman waktu sembuh (Tjokronegoro, 1996).
Obat- obat Simtomatik
Antipiretika
Antipiretika tidak perlu diberikan secara rutin pada setiap pasien demam tifoid, karena tidak banyak berguna. (Tjokronegoro, 1996)
Kortikosteroid
Pasien yang toksik dapat diberikan kortikosteroid oral atau parenteral dalam dosis yang menurun secara bertahap selama 5 hari. Hasilnya biasanya sangat memuaskan, kesadaran pasien menjadi jernih dan suhu badan cepat turun sampai normal. Akan tetapi kortikosteroid tidak boleh diberikan tanpa indikasi, karena dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps (Tjokronegoro, 1996).


Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil
Tidak semua obat antimikroba yang biasanya digunakan untuk demam tifoid dapat diberikan pada wanita hamil. Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada trimester ketiga kehamilan, karena dapat menyebabkan partus prematur, kematian fetus intrauterin dan grey syndrome pada neonatus.
Tiamfenikol tidak dianjurkan untuk digunakan pada trimester pertama kehamilan, karena memungkinkan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat disingkirkan. Pada kehamilan yang lebih lanjut, tiamfenikol dapat diberikan.
Ampisilin, Amoksisilin dan sefalosporin generasi ketiga aman untuk wanita hamil dan fetus, kecuali bila pasien hipersensitif terhadap obat tersebut.
Ko-trimoksazol dan fluorokinolin tidak boleh diberikan pada wanita hamil.

Diagnosa banding
Jika semua gejala klinis klasik ditemukan, termasuk bintik merah muda, demam yang lama, bradikardia relatif dan lekopenia, diagnosis tifoid akan cenderung sekali positif. Walaupun demikian sebagian kasus tidak sesuai dengan gambaran khas ini.
Diagnosa banding termasuk infeksi yang berkaitan dengan demam yang lama seperti riketsiosis, brucelosis, tularemiaa, leptospirosis, tuberkulosis milier, hepatitis virus, mononukleosis infeksiosa, infeksi sitomegalo virus dan malaria, demikian pula penyebab bukan infeksi seperti limfoma.

Diagnosa Laboratorium
1.    Uji bakteriologi
Diagnosa demam tifoid secara pasti dapat ditegakkan dengan isolasi Salmonella typhi dari biakan yang secara rutin dilaksanakan. Namun cara biakan ini membutuhkan waktu yang agak lama dan kurang praktis. Biakan yang dapat digunakan yaitu:
1)   Kultur darah
Kultur darah harus diambil secepat mungkin. Kultur darah sering positif dalam minggu pertama penyakit.
2)   Kultur susmsum tulang
a.    Sangat sensitif (95%)
b.Tidak dipengaruhi oleh pemberian antibiotika dan fase penyakit
c. Invasif (perlu tenaga ahli biopsi sumsum tulang)
3)   Kultur urine
Paling tinggi positif pada minggu II / III diagnosa pasti atau      " Carrier ".
4)   Kultur tinja
Hasil positif pada minggu II / III diagnosa pasti atau Carrier (Soewandoyo, 2002)
2.    Serologi
Berbagai macam tes serologi untuk deteksi antibodi yaitu :
1)  Tes Aglutinasi
Menurut (Soewandoyo, 2002) tes widal ada 2 metode:
Metode tabung (standard)
Titer O tinggi dan atau tarjadi kenaikan titer 4 kali   lipat dengan jarak waktu 7 hari pemeriksaan pertama dan kedua (O lebih spesifik dan H). Hasil diperoleh setelah 2-3 hari.
Metode Slide
Lebih spesifik dari pada metode tabung, hasilnya selesai dalam waktu 1 hari, Widal yang kurang spesifik karena menggunakan antigen impor.
2).  Tes ELISA
Deteksi antibodi, menggunakan Antigen O, H dan Vi. Dapat mendeteksi antibodi Ig M, Ig A, dan Ig G Salmonella typhi.
Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
Untuk meningkatkan kepraktisan uji ELISA, digunakan tehnik dot-EIA yang memanfaatkan kertas nitroselulosa sebagai fase padat yang memiliki kapasitas yang tinggi terhadap protein yang dilapiskan. Sebagai akibatnya, sekali antigen dilekatkan pada nitroselulose dan diblokade dengan bloking buffer, ikatan tersebut dapat disimpan dalam keadaan stabil selama beberapa bulan pada 4° C atau selama beberapa tahun pada -70°C.
Bila sewaktu-waktu dibutuhkan, dapat segera dipakai dengan menenteskan serum pada dot tersebut dan selanjutnya pemeriksaan akan selesai hanya dalam waktu 3-4 jam kerja.
Ig M (+) mennunjukkan demam tifoid akut, Ig G (+) menunjukkan relaps atau infeksi ulangan.
Berbagai macam tes serologi untuk deteksi antigen yaitu :
1)  Tes koagulasi
a.    Digunakan antisera Vi ( Vi-KOAG ).
b.    Lebih cepat daripada biakan kuman.
c.     
2)  Tes ELISA
Uji Elisa yang sering digunakan untuk melacak antigen adalah Double antibody sandwhich ELISA dan menggunakan antibodi monoklonal terhadap salmonella 0-9 untuk melacak antigen Salmonella typhi dalam urine atau plasma penderita.

Uji Widal
            1.    Pengertian
Uji  widal merupakan uji aglutinasi yang menggunakan suspense kuman   Salmonella   typhi   dan   Salmonella  paratyphi sebagai antigen untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap S. typhi atau paratyphi didalam serum penderita (Handojo, 2004).
Uji widal adalah suatu reaksi antigen dan antibodi (aglitinnin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella terdapat dalam serum pasien demam tifoid, juga pada orang yang pernah ketularan salmonellla dan para orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.
            2.    Prinsip
Uji widal prinsipnya adalah suatu uji aglutinasi yang memakai sebagai antigen, suspensi kuman (tak larut) yang direaksikan dengan antibodi spesifik terhadap kuman tersebut yang ada didalam serum penderita.
            3.    Tujuan
Menentukan adanya antibodi (aglutinin) dan menentukan titer antibodi (aglutinin) terhadap kuman Salmonella typhosa.
            4.    Kegunaan
Diagnosa typhus abdominalis (typhoid fever). Antibodi yang diperiksa adalah antibodi terhadap antigen O Salmonella typhosa (IgM) dan antibodi terhadap antigen H Salmonella typhosa (IgG).
            5.    Prosedur pemeriksaan uji widal cara tabung
Alat dan bahan
1). Tabung beserta rak
2). Pipet
3). Inkubator
4).  PZ
                     5). Antigen O Salmonella typhi
                     6). Antigen H Salmonella typhi
Cara kerja:
1.    Sediakan 2 deret tabung pada rak.
2.    Buat pengenceran serum pada 2 deret tabung dimulai dari    pengenceran 1:10 dengan volume masing-masing pengenceran 0,5 ml.
3.    Sediakan pada masing-masing tabung untuk control yang diisi dengan 0,5 ml PZ.
4.    Pada masing-masing deret 1, tambahkan 0,5 ml suspense antigen O Salmonella typhosa, dan pada masing-masing tabung deret 2 tambahkan 0,5 ml suspensi antigen H Salmonella typhosa.
5.    Setelah dicampur dengan baik, inkubasi pada incubator 37°C selama 24-48 jam.
6.    Setelah inkubasi selesai, ada tidaknya aglutinasi pada masing-masing  tabung dengan jalan  membandingkan dengan tabung kontrol (tabung kontrol harus tidak ada aglutinasi).
7.    Adanya aglutinasi ditandai dengan adanya gumpalan yang mengendap.
8.    Apabila tabung dengan aglutinasi positif kita hentakkan,maka gumpalan tadi akan pecah.
9.    Pada tabung yang ditambah Ag O Salmonella typhosa, pecahnya gumpalan menjadi bagian yang kasar (pasir).
10.                                 Sedangkan pada tabung yang ditambah Ag H Salmonella typhosa, pecahnya gumpalan menjadi bagian yang lebih halus (diibaratkan seperti

Kelemahan uji widal
Antigen
1) Strain S. typhi yang dipakai dapat mempengaruhi pada hasil uji widal. Antigen yang dibuat dari strain S .typhi yang bukan dari daerah endemis yang bersangkutan dapat memberikan hasil yang positif atau negatif semu. Kemungkinan adanya reaksi silang dengan kuman lain juga perlu diperhatikan, sehingga dapat memberikan hasil yang positif palsu.
2) Kekeruhan   suspensi    antigen   yang    kurang   tepat   dapat menimbulkan fenomena prozone maupun postzone. Biasanya dipakai derajat kekeruhan 3 U Mc. Farland. Cara yang terbaik adalah spektrofotometris, nefelometris, atau tubidimetris.
Kadar aglutin dalam serum
Kadar aglutin dalam serum yang amat tinggi dapat menimbulkan fenomena prozone sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam pembacaan hasil.
Cara pembacaan hasil uji widal
Pembacaan dilakukan dengan mata telanjang sehingga amat subyektif dan dapat memberikan ketidaksesuaian hasil pembacaan yang cukup besar.
Warna aglutinat
Umumnya tidak berwarna sehingga dapat menyukarkan pembacaan hasil uji widal.

Faktor yang mempengaruhi uji widal
1). Faktor yang berghubungan dengan pasien
a.   Keadaan umum, gizi buruk mempengaruhi pembentukan antibodi.
b.   Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit, agglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pasien sakit selama 1 minggu   dan   mencapai   puncaknya   pada   minggu   5-6 penyakit.
c.   Pengobatan   dini   dengan   antibiotik,   beberapa   peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan antimikroba menghambat pembentukan antibodi, tetapi  peneliti  lain menentang pendapat ini.
d.   Penyakit tertentu, pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, missal pada leukemia dan karsinoma lanjut.
e.   Obat imunosupresi dan cortikosteroid, obat ini menghambat antibodi karena supresi RES.
f.    Vaksinasi   dengan  kotipa  atau  tipa,  pada  orang yang divaksinasi titer antibodi O dan H meningkat. Aglitinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai   1  tahun, sedangkan titer aglitinin H menurun perlahan-lahan selama 1-2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang    pernah    divaksinasi    kurang    mempunyai    nilai diagnostik.
g.   Infeksi   klinis   atau   subklinis   karena   infeksi   kuman salmonella sebelumnya, keadaan ini dapat memberikan uji widal  positif,  walaupun  dengan  titer rendah.  Didaerah endemik tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang sehat.
h.   Reaksi anamnestik adalah keadaan dimana terjadi kenaikan
titer aglutinin terhadap S. typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan demam tifoid pada seseorang yang pernah divaksinasi atau ketularan salmonella pada masa lampau.
2). Faktor-faktor tehnis
a.   Aglutmasi silang.
Karena beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b.   Konsentrasi suspensi antigen.
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi hasilnya
c.   Strain salmonella yang digunakan sebagai suspensi antigen.
Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini bersifat observation crossectional study yaitu metode penelitian yang menganalisis data yang diperoleh pada saat tertentu tanpa melakukan perlakuan. Tujuan penelitian adalah Mengetahui perbandingan prevalensi uji widal cara tabung pada penderita demam tifoid yang diperiksa di Laboratorium Prodia Malang selama periode September 2008 sampai Februari 2009 dan Maret 2009 sampai Agustus 2009.
Populasi penelitian adalah seluruh pasien yang memeriksakan titer antibodi O dan H terhadap kuman Salmonella typhi ke Laboratorium Prodia malang. Sampel penelitian adalah seluruh pasien dengan titer agglutinin O dan H positif terhadap kuman Salmonella typhi yang datang di Laboratorium Prodia malang.
Rancangan Analisa
1.    Data diambil dengan menghitung seluruh pasien yang memeriksakan
titer antibodi terhadap kuman Salmonella typhi.
2.    Menghitung jumlah persentase pasien yang positif titer aglutinin O dan
H terhadap kuman Salmonella typhi.
3.    Menghitung perbandingan titer antibodi terhadap kuman Salmonella typhi di Laboratorium Patologi klinik RSU dr. Soetomo Surabaya pada bulan September 2008 - Februari 2009 dan Maret 2009- Agustus 2009.
Analisa data yang diperoleh berupa data sekunder yaitu data yang diperoleh tanpa melakukan pengumpulan data sendiri. Data tersebut dianalisis dan dihitung secara statistik menggunakan persentase dan uji chi square.





HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pengamatan Pemeriksaan Uji Widal Periode September 2008 – Februari 2009Di Laboratorium Prodia Malang.
Berdasarkan hasil pengamatan, data menunjukkan dari 263 penderita yang memeriksakan uji widal dengan hasil positif sebanyak 8 orang atau sekitar 1,39% dan hasil negatif sebanyak 255 penderita atau sekitar 44,43% (data terlampir).

Hasil Pengamatan Pemeriksaan Uji Widal Periode Maret 2009– Agustus 2009 di Laboratorium Prodia Malang 2009.
Berdasarkan hasil pengamatan, data menunjukkan dari 311 penderita yang memeriksakan uji widal dengan hasil positif sebanyak 6 orang atau sekitar 1,045% dan hasil negatif sebanyak 305 penderita atau sekitar 53.1%

Tabel 1.Distribusi Pemeriksaan Uji Widal di Laboratorium Prodia Malang.
Periode
Positif
Negatif
Total
Sept 08 – Feb 09
      8                                                 17.5
     255                                            595.4    
263
Mar 09 – August 09
      6                                                 11.1
     305                                            565.9    
311
Total
14
560
574


                         
Penentuan Titik Kritis (Xo2)
Tujuan:  untuk menunjukkan adanya perbedaan atau persamaan dari kedua data tersebut.
Rumus:   Xo2      =  α . df
Kriteria:
                  df      =   ( b – l ) ( k – l )
                           =   ( 2 – 1 ) ( 2 – 1 )
                           =   1
                  Untuk α = 0,05 dan dk = 1, maka Xo2 = 3,841
Keterangan :
                        Xo2        :  Titik kritis
                        α            : Derajat kemaknaan (level of significant)
                        b            : Baris
                        k            : Kolom
                        df          : Derajat kebebasan
Hipotesis :
X2 > Xo2       =   H > Ho, Berarti ada perbedaan antara 2 periode tersebut.
X2 < Xo2      =   H < Ho, Berarti tidak ada perbedaan antara 2 periode tersebut.

Berdasarkan perhitungan statistik diperoleh hasil X2 adalah 0,74 dan X02  adalah 3,841 atau X2  <    X02 , berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara perubahan musim dengan hasil diagnosis demam tifoid.

Pembahasan
Data yang diperoleh dari Laboratorium Prodia Malang, sebanyak 574 orang yang memeriksakan uji widal. Pada bulan September 2008 sampai  dengan  Februari  2009 data menunjukkan  dari  263  penderita yang memeriksakan uji widal dengan hasil positif sebanyak 8 orang atau sekitar 1,39% dan hasil negatif sebanyak 255 penderita atau sekitar 44,43% (data terlampir). Sedangkan pada bulan Maret sampai Agustus 2009 data menunjukkan dari 311 penderita yang memeriksakan uji widal dengan hasil positif sebanyak   6 orang atau sekitar 1,045% dan hasil negatif sebanyak 305 penderita atau sekitar 53,1% . Berdasarkan data tersebut dapat dijelaskan bahwa perbandingan uji widal pada periode September 2008-Februari 2009 di Laboratorium Prodia Malang lebih tinggi dibandingkan pada periode Maret 2009- Agustus 2009 dilaboratorium yang sama.
Uji widal di Labolatorium ini dikatakan positif bila titer yang masih menunjukkan aglutinasi lebih besar atau sama dengan 1/160 dan dikatakan negatif bila titer aglutinasi dibawah 1/160. Setelah dilakukan uji statistik diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara perubahan musim dengan jumlah pemeriksaan demam tifoid dan hasil diagnosis demam tifoid.
Salmonella typhi sebagai kuman penyebab demam tifoid dapat menyerang sepanjang tahun sehingga permintaan pemeriksaan uji widal juga selalu ada sepanjang tahun. Selain itu juga demam tifoid tidak dipengaruhi oleh perubahan musim yang terjadi di daerah tersebut namun dipengaruhi oleh kebersihan diri dan lingkungan seseorang. Pada setiap musim pasti ada yang rawan menjadi penyebab demam tifoid, banyaknya lalat pada musim hujan dan banyaknya debu yang beterbangan pada musim kemarau merupakan salah satu contoh rawannya kasus demam tifoid pada musim tersebut. Penyakit ini secara umum dipengaruhi oleh kebersihan diri dan lingkungan, semakin seseorang itu menjaga kebersihan diri dan lingkungannya maka orang tersebut juga akan semakin terhindar dari resiko demam tifoid.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan perhitungan statistik diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan yang  bermakna antara jumlah penderita demam tifoid di Laboratorium Prodia Malang pada 2 periode tersebut. Hal ini dapat dikarenakan mudahnya penularan penyakit demam tifoid antara penderita yang satu dengan yang lain.
Musim tidak berpengaruh terhadap jumlah penderita demam tifoid, hal ini dikarenakan kebersihan diri dan lingkunganlah yang merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit demam tifoid dan kedua faktor itu tergantung pada pengetahuan dan kesadaran diri setiap individu untuk menjaganya setiap waktu

Saran
Untuk memberikan hasil uji widal yang akurat, pemeriksaannya tidak hanya dilakukan 1 kali saja melainkan perlu satu seri pemeriksaan. Kenaikan titer widal pada satu seri pemeriksaan widal atau kenaikan titer 4 kali pada pemeriksaan selanjutnya dapat membantu memastikan diagnosis demam tifoid.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad  H,  Asdjie.   1999.   Horison  Prinsip Penyakit Dalam.  Jakarta. EGC.
Carrick A, 1983, Diagnosa Demam Tifoid Edisi I, Surabaya, Airlangga University Pers.
Gam, Harson. 1992. Terapan pada antigen OMP, Edisi II. Jakarta Erlangga.
Handojo, I. 2004. Imunoassay Terapan pada Beberapa Penyakit Infeksi. Edisi I.Surabaya. Airlangga University Pers.
Jawetz, Melnick & Adel berg's. 2001. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 1. Jakarta. Salemba medika.
Puspha Wardani, Prihatini, Probohoesodo, MY. 2005. Kemampuan Uji Tabung   Widal   Menggunakan   Antigen   Impor   dan   Antigen   Lokal. Indonesian journal of clinical pathologi & medical labolatory.
Soewandoyo,    I    Soeharto.    2002.    Seri    Penyakit    Tropik    Infeksi Perkembangan Terkini  dalam  Pengelolaan  beberapa Penyakit  Tropik Infeksi. Edisi 1. Surabaya. Airlangga University Pers.
Saleh, samsubar. 1986. Statiatik non parametrik.Edisi  l.Yogyakarta.BPFE.
Spfegel,murray R.2004. Statistik.Edisi 3. Jakarta.Erlangga.
Tjokronegoro, A dkk. 1996. Ilmu penyakit dalam, Edisi 3. Jakarta. FKUI.