HUBUNGAN
PENINGKATAN SGPT DENGAN HASIL HBSAG
PADA
PASIEN HEPATITIS B DI RUMAH SAKIT
MARSUDI
WALUYO PADA TAHUN 2011.
Oleh
Agustina Dwi Indah V.
Dosen Analis Kesehatan
Akademi Analis Kesehatan Malang
INTISARI
Tujuan
penelitian ini adalah Untuk mengetahui adanya hubungan peningkatan SGPT (Serum
Glutamik Piruvat Transamminase) terhadap hasil HBsAg pada pasien hepatitis B di
Rumah Sakit Marsudi Waluyo. Desain penelitian ini merupakan deskriptif dalam
bentuk studi korelasi dengan memberikan gambaran tentang laboratorium yang
berhubungan dengan pemeriksaan SGPT dan HBsAg pada pemeriksaan Hepatitis B. Teknik sampling menggunakan metode quota sampling dan sampel
adalah pasien yang periksa SGPT ke laboratorium Rumah Sakit Marsudi Waluyo
sejumlah 40 orang. Analisa data univariat dan
bivariat chi square.Dari pengambilan 40 sampel dapat diketahui hasil
pemeriksaan SGPT meningkat dengan HBsAg positif 30% ditemukan pada 12 orang,
hasil pemeriksaan SGPT meningkat dan
HBsAg negative 15% ditemukan pada 6 orang, hasil SGPT normal dengan HBsAg
positif 0%, dan hasil SGPT normal dengan HBsAg negative 55% ditemukan pada 22
orang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan
peningkatan SGPT
dengan hasil HBsAg pada pemeriksaan hepatitis B di Rumah Sakit Marsudi Waluyo
pada tahun 2011.
Kata
kunci : SGPT, HBsAg, dan Hepatitis B
PENDAHULUAN
Penyakit hepatitis merupakan suatu kelainan berupa peradangan
organ hati yang dapat disebabkan oleh banyak hal antara lain: infeksi virus,
gangguan metabolisme, obat-obatan, alkohol, maupun parasit. Hepatitis juga
merupakan salah satu penyakit yang mendapatkan perhatian serius di Indonesia,
terlebih lagi dengan jumlah penduduk besar serta kompleksitas yang terkait.
Selain itu, meningkatnya kasus obesitas, diabetes, melitus, dan hiperlipidemia
membawa konsekuensi bagi komplikasi hati (Sari et al, 2008).
Penyakit
hepatitis B merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia dan jenis yang
paling serius dari virus hepatitis, yang mengenai dua kali lipat lebih banyak
dibandingkan hepatitis C. Penyakit
hepatitis B sebagian besar akan sembuh dengan baik dan hanya sekitar 5-10
persen yang akan menjadi kronik. Bila hepatitis B menjadi kronik maka sebagian
penderita hepatitis B kronik ini akan menjadi sirosis hati dan kanker hati.
Namun hanya sebagian kecil saja penderita Hepatitis B yang berkembang menjadi
kanker hati (Rahmatunaim, 2011).
Infeksi kronik
virus hepatitis B (VHB) merupakan masalah yang serius karena penyebaranya di
seluruh dunia dan kemungkinan terjadi gejala sisa, khususnya untuk wilayah
Asia-Pasifik yang prevalensinya tinggi. Infeksi kronik VHB merupakan suatu keadaan dinamis dengan
terjadi interaksi antara virus, hepatosit, dan system imun pejamu (Akbar et al, 2004).
Diantara penderita hepatitis B kronik, sekitar 60% akan menjadi hepatitis
kronis persisten (HKP), 30% akan menjadi hepatitis kronis aktif (HKA), dan 10%
akan menjadi pengidap sehat. Seorang pengidap sehat bila HBsAg tetap ada di
dalam serum selama bertahun-tahun tanpa disertai kelainan fungsi hati dan
transaminase serumnya tetap normal. Secara serologis hepatitis B kronis berbeda
dengan pengidap sehat. Pada penderita hepatitis B kronis biasanya terjadi
replikasi virus yang dapat diketahui dengan dijumpainya HBeAg di samping HBsAg
dalam serum (Dalimartha, 2002).
Apabila VHB masuk ke dalam tubuh manusia maka system kekebalan
tubuh akan berusaha untuk memusnahkannya. Bila usaha ini gagal maka virus akan
masuk ke dalam sel hati (hepatosit)
dan berkembang biak. Fase ini disebut fase replikasi ditandai dengan
terdapatnya HBeAg dan VHB-DNA dalam darah. Selain itu peradangan hati juga
ditandai dengan meningkatnya SGOT (Serum
Glutamik Oksaloasetik Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamik Piruvat Transaminas). Bila genom virus berintegrasi ke dalam genom sel hati, maka HBeAg
menghilang dan terbentuk anti-HBe. Fase ini disebut fase integrasi. Peradangan
hati akan mereda tetapi dapat terjadi proses keganasan. Pada beberapa penderita
masih terjadi replikasi virus yang ditandai dengan menetapnya VHB-DNA dalam
serum penderita (Dalimartha, 2002).
Menurut Rahmatunaim (2011)
untuk mendeteksi adanya penyakit hepatitis, perlu dilakukan serangkaian tes
fungsi hati yang sifatnya enzimatik (menguji kadar enzim), yaitu: Enzim yang
berkaitan dengan kerusakan hati, antara lain SGOT, SGPT, GLDH dan LDH; enzim
yang berhubungan dengan penanda adanya sumbatan pada kantung empedu, yaitu
Gamma GT dan alkali fosfatase; enzim yang berhubungan dengan kapasitas sintesis
hati, yaitu kolinesterase. Jika serangkaian tes enzimatik tersebut menandakan
adanya gangguan pada hati, dan dari diagnosa dicurigai adanya hepatitis, maka
pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan serologi (sel) yaitu pemeriksaan yang
menggunakan prinsip antigen-antibodi. Pemeriksaan tersebut
diantaranya : HBsAg, HBeAg, anti-HBe dan VHB DNA.
Indikator
paling awal untuk mendiagnosa infeksi virus hepatitis B adalah antigen
permukaan hepatitis B/HBsAg. Penanda
serum ini dapat muncul paling cepat dua minggu setelah individu terinfeksi, dan
akan tetap ada selama fase akut infeksi. Jika penanda serum ini tetap ada
setelah 6 bulan, maka klien dapat menderita hepatitis kronis dan menjadi carrier. Vaksin hepatitis B tidak akan
menyebabkan HBsAg positif. Klien yang menderita HBsAg positif tidak boleh
mendonorkan darah (Kee, 2003).
Berdasarkan
fenomena-fenomena diatas, maka penulis tertarik melakukan penelitian mengenai “Hubungan
Peningkatan SGPT dengan Hasil HBsAg Pada Pasien Hepatitis B di Rumah Sakit
Marsudi Waluyo pada Tahun 2011”.
Tinjauan
Pustaka
Organ Hati (Hepar)
Gambar
.1
Organ
Hati
Sumber
: http://mediasehat.com/tanyajawab
Menurut
Dalimartha (2002), Hepar memiliki 4 macam fungsi, yaitu: a.Fungsi pembentukan
dan ekskresi empedu, b. Fungsi metabolic,c. Fungsi pertahanan tubuh, d. Fungsi
vaskuler
Hepatitis B
Hepatitis
adalah suatu proses peradangan pada jaringan hati. Secara popular dikenal
dengan istilah penyakit hati, sakit liver, atau sakit kuning. Sari et al (2008) menyimpulkan bahwa peradangan hati dapat menyebabkan kerusakan
sel-sel, jaringan, bahkan semua bagian organ hati. Hepatitis dapat terjadi
karena penyakit yang memang menyerang sel-sel hati atau penyakit lain yang
menyebabkan komplikasi pada hati.
Hepatitis
B adalah penyakit peradangan hati yang disebabkan
oleh Virus Hepatitis B. Menurut Soemoharjo (2008) virus hepatitis B pertama
kali ditemukan oleh Blumberg et al,
pada tahun 1965 yang melakukan penelitian untuk mendeteksi adanya antigen dalam darah seorang warga Aborigin Australia
penderita hemophilia. Antigen ini dinamakan australian
antigen. Sekarang dikenal dengan nama antigen permukaan VHB (HBsAg) karena
terdapat di permukaan VHB.
Menurut Sari et al
(2008) virus hepatitis B 100 kali lebih infeksius, yakni lebih berpotensi menyebabkan infeksi dibandingkan virus HIV karena masa tunasnya cukup
pendek, yaitu sekitar 3 bulan. Virus ini ditemukan di dalam darah, air ludah,
air susu ibu, cairan sperma, atau vagina penderita.
Hepatitis B Akut
Hepatitis Akut adalah proses nekroinflamatorik pada hati yang
terjadi secara akut dan disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B. Hepatitis
akut biasa berjalan dengan waktu singkat dengan tanda klinik yang nyata, tapi
sering dijumpai adanya gejala-gejala tanpa ikterik (Hermawan, 2007).
Menurut Soemoharjo (2008) gejala klinik Hepatitis B akut adalah
sebagai berikut:
-
Gejala prodromal (fase praikterik): anoreksia, mual, muntah,
mialgia.
-
Fase ikterik: ditandai timbulnya ikterus dan berkurangnya
prodromal, pada saat itu hepar teraba
dan nyeri tekan.
-
Fase penyembuhan: selama masa penyembuhan gejala-gejala
konstitusional menghilang tetapi hepatomegali masih ada. Penyembuhan sempurna
terjadi berkisar 1-2 bulan tetapi dapat mencapai 4 bulan.
Hepatitis Kronik
Hepatitis kronik adalah adanya persistesi virus hepatitis B (VHB)
lebih dari 6 bulan yang masih disertai viremia.
Hermawan (20007) menyatakan bahwa infeksi kronik VHB ditandai
dengan adanya pemeriksaan HBsAg (+) lebih dari 6 bulan. Dari parameter
serologik dinyatakan sebagai berikut:
Ø Chronic Active Hepatitis (CAH) bila ditemukan
pemeriksaan serologic HBsAg (+), HBeAg
dan anti HBc (+).
Ø CAH disertai tanda
klinik, terjadi kerusakan yang agresif sel hati dan terjadinya sirosis atau
kegagalan hati yang progresif.
Ø Chronic Persisten Hepatitis (CPH) bila terdapat pemeriksaan
serologic HBsAg (+), anti HBe (+) dan anti HBc (+)
Ø
CPH disertai tanda
klinik, virus tetap ada di dalam darah tetapi menyebabkan kerusakan sel hati.
Patogenesis Virus
Hepatitis B
Virus Hepatitis B merupakan virus DNA mengalami replikasi di dalam
sel hati setelah 3 hari berada dalam darah penderita. Replikasi virus VHB tidak
sitopatik, symptom terjadi lebih dari 45 hari setelah virus masuk kedalam
darah. VHB genom berintegrasi di dalam kromosom selama replikasi. Keadaan ini
merupakan dasar terjadinya infeksi yang laten sebagian HBsAg masuk ke dalam
darah merupakan struktur virus komplit (Anderson,
2000)
Menurut Hermawan (2007) :
·
Bentuk kompleks imun HBsAg menimbulkanya respons antibody, dalam
bentuk hiperaktifitas, seperti artitis, kerusakan sel hati peningkatan enzim,
tidak semua manifestasi klinis ini terjadi.
·
Parenkim hati mengalami degenerasi: pembengkakan dan nekrosis.
Apabila parenkim hati mengalami perbaikan, regenerasi kembali dan terjadi resolusi
sel hati yang sesuai dengan gejala klinis laboratorik.
·
Mekanisme kerusakan hepatoseluler pada infeksi Hepatitis B,
disebabkan adanya Imunoreaktivitas VHB-encoded antigen pada target sel oleh CTL
(Citoxic T limphocyt), NK sel, K sel,
dan B sel mempunyai peran yang penting dalam pathogenesis hepatitis.
Epidemiologi
Negara endemisitasnya tinggi Negara Asia, yaitu Cina, Vietnam,
Korea dimana 50-70% dari penduduk berusia antara 30-40 tahun pernah kontak
dengan VHB dan sekitar 10-50% menjadi pengidap Hepatitis B surface (HBsAg).
Menurut WHO Idonesia termasuk kelompok daerah endemis sedang dan berat
(Soemoharjo, 2008).
Menurut Sari et al
(2008) sekitar 1 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat komplikasi
hepatitis B. kasus hepatitis sendiri cukup banyak di Indonesia. Sekitar 11 juta
penduduk Indonesia mengidap penyakit hepatitis B. jumlah ini dapat bertambah
setiap tahunnya karena 10% dari mereka yang terinfeksi mengalami gejala-gejala
yang tidak spesifik (carrier)
sehingga kadang diketahui oleh masyarakat dan tidak terdiagnosis oleh dokter. Carrier VHB berpotensi sebagai sumber
penyebaran penyakit hepatitis B.
Prevalensi infeksi VHB berbeda-beda di setiap tempat. Prevalensi
terendah terdapat di Amerika Utara dan Eropa Barat dimana infeksi tersebut di
dapatkan 0,1-0,5% penduduk. Di Asia Tenggara dan Afrika Sub-Sahara 5-20% dari
penduduk terinfeksi virus ini
(Dalimartha, 2002).
Komisi hepatitis WHO membagi prevalensi infeksi hepatitis menjadi
tiga kelompok, yaitu prevalensi rendah, sedang dan tinggi. Prevalensi
tertinggi terdapat di pulau Rapa di
Samudra Atlantik dimana 50% dari penduduk menjadi pengidap (Soemoharjo, 2008).
Gejala Klinis
Gejala Hepatitis B mirip
gejala flu. Kadang-kadang sangat ringan bahkan tidak menimbulkan gejala sama
sekali. Hanya sedikit orang yang terinfeksi menunjukkan semua gejala. Karena alasan ini banyak kasus Hepatitis B yang tidak
terdiagnosis dan terobati. Tanda-tanda hepatitis:
§
Tahap pra-ikterik yang
berlangsung selama 1minggu: Anoreksia, suhu tubuh meningkat disertai menggigil,
mual dan muntah, kesulitan mencerna makanan (dispespia), nyeri sendi (artralgia),
nyeri tekan pada hati, cepat lelah, dan berat badan menurun.
§
Tahap ikterik dimulai
dengan timbulnya ikterik yang berlangsung selama 46 minggu. Urin berwarna
kuning tua, transaminase serum (ALT dan AST) dan alkalin fosfatase meningkat
serta masa protombin memanjang.
§
Tahap pasca ikterik atau
tahap penyembuhan. Tahap ini dimulai ketika ikterik hilang (Soemoharjo, 2008).
Penularan
Menurut Dalimartha (2002) ada dua jenis cara penularan hepatitis B
yaitu:
a.
Transmisi vertikal
Penularan
terjadi pada masa persalinan (perinatal). VHB ditularkan dari ibu kepada
bayinya yang disebut juga penularan maternal neonatal.
b.
Transmisi Horisontal
Adalah
penularan VHB dalam masyarakat. Penularan terjadi akibat kontak erat dengan
pengidap hepatitis B atau penderita hepatitis B akut.
Prognosa
Dalam perjalanan penyakitnya, pengidap HBsAg sebagian akan menjadi
kronik persisten dan hepatitis kronik aktif. Penderita hepatitis kronik aktif
dapat berakhir menjadi sirosis hati atau kanker hati. Sirosis dan kanker hati
merupakan penyakit yang sering menimbulkan komplikasi berat berupa perdarahan
saluran cerna bagian atas atau koma hepatik (Dalimartha, 2002).
Pencegahan
1.
Membiasakan diri untuk mencuci tangan dengan cara yang benar.
2.
Feses, urine, cairan tubuh lainya harus di anggap potensial untuk
infeksi dan harus ada cara tepat untuk pembuanganya.
3.
Membuang alat-alat disposibel sacara benar
4.
Alat-alat yang non-disposible harus di sterilisasikan dengan steam
underpressure atau autoclave.
5.
Vaksinasi
Pemeriksaan
Laboratorium
Parameter Biokimia Hati
1. Amino transferase (transaminase)/SGPT/SGOT
SGPT (Serum Glutamik Pyruvik
Transaminase):
Kee (1997) menjelaskan
bahwa “SGPT adalah suatu enzim yang ditemukan terutama pada sel-sel hati,
efektif dalam mendiagnosa kerusakan hepatoseluler”. SGPT sering disebut juga
ALT (Alanin Aminotransferase).
Menurut Soetedjo (2007) peningkatan dalam serum darah mengindikasikan
adanya trauma atau kerusakan hati.
a.
Peningkatan > 20x normal : hepatitis virus, hepatitis toksik.
b.
Peningkatan 3-10x normal : infeksi mononuclear, hepatitis kronik
aktif, obstruksi ekstra hepatic, sindrom reye, dan infrak miokard (AST >
ALT).
c.
Peningkatan 1-3 x nilai normal : pancreatitis, perlemakan hati,
sirosis laenec, dan sirosis biliar.
SGOT (Serum Glutamik
Oksaloasetik Transaminase)
Adalah enzim transaminase sering juga sisebut AST (Amino
Transferase) katalisator perubahan dari asam amino menjadi asam alfa
ketoglutarat. Enzim ini berada pada serum dan jaringan terutama hati dan
jantung. Pelepasan enzim yang tinggi ke dalam serum menunjukan adanya keruskan
terutama pada jaringan jantung dan hati (Soetedjo, 2007).
Tabel 1. Kondisi yang menyebabkan peningkatan SGOT
No
|
Peningkatan
SGOT
|
Kondisi/penyebab
|
1
|
Peningkatan ringan
(> 3 x normal)
|
·
Perikarditis
·
Sirosis hepatic
·
Infark paru
·
Cerbrovascular (CVA)
|
2
|
Peningkatan sedang
(3-5 normal)
|
· Obstruksi
saluran empedu
· Aritmia
jantung
· Gagal
jantung kongesti
· Tumor
hati
|
3
|
Peningkatan tinggi
(> 5 x nilai normal)
|
·
Kerusakan hepatoseluler
·
Infark jantung
·
Kolaps sirkulasi
·
Pancreatitis akut
|
Sumber : Frances,
1994
2. Alkali fosfatase (ALP)
Enzim ini ditemukan pada sel-sel hati yang berada di dekat saluran
empedu. Peningkatan ALP merupakan salah satu petunjuk adanya sumbatan atau hambatan pada saluran empedu.
Peningkatan ALP dapat disertai dengan gejala warna kuning pada kulit, kuku,
atau bagian putih bola mata (Sari et al, 2008).
3. Serum protein
Serum protein yang dihasilkan hati antara lain albumin, globulin,
dan factor pembekuan darah. Pemeriksaan serum protein-protein tersebut
dilakukan untuk mengetahui fungsi biosintesis hati. Penurunan kadar albumin
menunjukan adanya gangguan fungsi sintesa hati. Namun karena usia albumin cukup
panjang (15-20 hari), serum protein ini kurang sensitif digunakan sebagai
indikator kerusakan sel hati. Kadar albumin kurang dari 3 g/L menjadi petunjuk
perkembangan penyakit menjadi kronis (Sari et
al, 2008).
4. Bilirubin
Soetedjo (2007) menjelaskan bahwa Bilirubin adalah pigmen empedu,
produk dari pemecahan Haem (degradasi Hb) dalam retikulo endotelial, masuk
sirkulasi dalam plasma terikat dengan albumin, diambil oleh hati, dan
dikonyugasikan menjadi bilirubin diglukoronid. Kadar bilirubin dalam serum
menggambarkan tingkat kesanggupan hati mengkonyugasikan bilirubin dan
diekskresikan empedu. Harga normal bilirubin total dalam darah 0-1,1 mg/dl.
Pemeriksaan Serologi
1. HBsAg (Hepatitis B Surface
Antigen)
Soetedjo (2007) menjelaskan
HBsAg merupakan material permukaan/kulit virus hepatitis B berisi protein yang
dibuat sitoplasma sel hati yang terkena infeksi dan beredar dalam darah sebelum
dan selama infeksi akut, karier dan hepatitis B kronik. HBsAg tidak infeksius
tapi justru merangsang tubuh untuk membentuk antibodi.
Pemeriksaan HBsAg dilakukan untuk menentukan adanya virus
hepatitis B di dalam darah baik dalam kondisi aktif maupun sebagai carrier.
Kira-kira 5% orang dengan penyakit hepatitis B (serum hepatitis) akan ditemukan
hasil pemeriksaan positif. Pada hepatitis B, antigen dalam serum dapat di
deteksi 2 sampai 24 minggu (rata-rata 4 sampai 8 minggu) setelah inkubasi
virus. HBsAg positif dapat terjadi 2 sampai 6 minggu setelah terpajan pada
penyakit ini (Kee, 1997)
2. Anti-HBsAg
Menurut Sari et al
(2008) Anti-HBsAg merupakan antibody terhadap HBsAg yang menunjukan adanya
antibody terhadap VHB. Antibody ini memberikan perlindungan terhadap penyakit
hepatitis B. Jika tes antibodi positif artinya individu itu telah mendapat
vaksin VHB, atau pernah mendapat immunoglobulin, atau juga bayi yang mendapat
kekebalan dari ibunya. Anti-HBsAg yang positif pada individu yang tidak pernah
mendapat imunisasi hepatitis B menunjukan individu tesebut pernah terinfeksi
VHB.
3. HBeAg
Soetedjo
(2007) menjelaskan bahwa, HBeAg adalah antigen yang beredar dalam darah dan
lebih terkait dengan core virus. Apabila positif (+) menunjukan terjadinya replikasi virus dan infeksi terus berlanjut.
Penanda
serum ini hanya akan terjadi bila telah ditemukan HBsAg. Biasanya muncul satu
minggu setelah HBsAg ditemukan dan menghilang sebelum timbul anti-HBs. Jika
HBeAg serum masih ada setelah 10 minggu klien akan dinyatakan sebagai carrier
kronis (Kee, 2003).
4. Anti-HBe
Antibodi terhadap antigen HBe yang dibentuk oleh tubuh. HBeAg (+) menunjukan bahwa virus hepatitis B berada pada fase non replikatif (Soetedjo,
2007).
5. HBcAg
Adalah antigen core (inti)
virus hepatitis B yang berupa protein dan dibuat dalam inti sel hati yang
terinfeksi. HBcAg (+) menunjukan adanya keberadaan protein dari inti virus
hepatitis B ( Soetedjo,
2007).
6. Anti-HBc
Anti-HBc
terjadi bersamaan dengan temuan HBsAg positif kira-kira 4-10 minggu pada fase
VHB akut. Peningkatan titer Ig M anti-HBc mengindikasikan proses infeksi akut. Anti-HBc dapat mendeteksi klien yang
telah trinfeksi VHB. Penanda serum ini dapat ada selama bertahun-tahun dan
klien yang memiliki anti-HBc positif tidak boleh mendonorkan darah (Kee, 2003).
2.1 Perawatan
Hepatitis
yang disebabkan oleh infeksi
virus
menyebabkan sel-sel hati mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya. Pada umumnya, sel-sel hati dapat tumbuh kembali dengan
sisa sedikit kerusakan, tetapi penyembuhannya memerlukan
waktu berbulan-bulan dengan diet dan istirahat yang baik (Dalimartha, 2002).
Hepatitis
B akut umumnya sembuh, hanya 10% menjadi Hepatitis B kronik (menahun) dan dapat
berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati. Saat ini ada beberapa
perawatan yang dapat dilakukan untuk Hepatitis B kronis yang dapat meningkatkan kesempatan bagi seorang penderita
penyakit ini. Perawatannya tersedia dalam bentuk antiviral seperti lamivudine dan adefovir dan modulator sistem kebal
seperti Interferon Alfa (
Uniferon)
(wikipedia, 2011 ).
Kerangka Konsep
Notoatmodjo (2005) menjelaskan bahwa “kerangka
konsep pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin
diamati atau di ukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan”.
Gambar.1 Kerangka Konsep
Keterangan:
Pemeriksaan HBsAg sebagai variabel terikat
dimana hasilnya dipengaruhi oleh hasil pemeriksaan SGPT (Serum Glutamik Piruvat Transaminase) sebagai variabel bebas.
Pemeriksaan HBsAg dapat di ukur setelah
melakukan pemeriksaan SGPT.
Hipotesis
Hipotesis
merupakan jawaban yang bersifat sementara dari suatu penelitian (Notoatmodjo,
2005). Adapun Hipotesa dalam penelitian ini adalah:
Ø Hipotesis Nol (Ho)
Tidak terdapat hubungan SGPT
terhadap hasil HBsAg pada pasien Hepatitis B di Rumah Sakit Marsudi Waluyo pada
tahun 2011.
Ø Hipotesis Alternatif (Ha)
Terdapat hubungan SGPT terhadap
hasil HBsAg pada pasien Hepatitis B di Rumah Sakit Marsudi Waluyo pada tahun 2011.
METODE
PENELITIAN
Metode penelitian yang di gunakan
adalah metode deskriptif dalam bentuk studi korelasi dengan memberikan gambaran
tentang laboratorium yang berhubungan dengan pemeriksaan SGPT dan HBsAg pada
pasien Hepatitis B.
Populasi dari penelitian ini
adalah pasien yang periksa ke laboratorium Rumah Sakit Marsudi Waluyo. Sampel menggunakan
metode quota, diperoleh sampel sebanyak 40 orang
Variabel dalam penelitian ini
adalah pemeriksaan SGPT sebagai variabel bebas, sedangkan hasil pemeriksaan
HBsAg sebagai variabel terikat.
Pengumpulan data diperoleh dari
data primer dan skunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung
dari responden dengan cara memeriksa HBsAg pada pasien. Sedangkan data skunder,
yaitu dengan cara mengambil data dari status penderita di Laboratorium Rumah
Sakit Marsudi Waluyo. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara metode
Observasi eksperimental.
Analisis data menggunakan Analisa Univariat dan Analisa Bivariat
Analisa univariat dimaksudkan untuk
mengetahui distribusi frekuensi dari variabel yang diamati, sehingga dapat
mengetahui karakteristik atau gambaran dari variabel yang diteliti, sedangkan Analisa Bivariat adalah untuk
melihat hubungan antara dua variabel atau lebih. Dalam penelitian ini dilakukan
analisis statistik dengan uji Chi Kuadrat x 2
.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Penelitian
ini dilakukan di Rumah Sakit Marsudi Waluyo dengan tujuan mengetahui hubungan
peningkatan SGPT terhadap hasil HBsAg pada pasien hepatitis B. Jumlah sampel
yang digunakan yaitu 40 orang. Hasil penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Hasil Penelitian
No
|
Nama
|
Jenis
Kelamin (L/P)
|
SGPT (U/L)
|
HBsAg
|
1
|
ABD
|
L
|
26
|
(-) NEGATIF
|
2
|
SD
|
P
|
22
|
(-)
NEGATIF
|
3
|
BOT
|
P
|
156
|
(+)
POSITIF
|
4
|
RH
|
P
|
18
|
(-)
NEGATIF
|
5
|
NN
|
L
|
48
|
(+) POSITIF
|
6
|
SP
|
P
|
18
|
(-) NEGATIF
|
7
|
HD
|
L
|
35
|
(-) NEGATIF
|
8
|
ICW
|
L
|
45
|
(+)
POSITIF
|
9
|
NAN
|
P
|
33
|
(-) NEGATIF
|
10
|
MCH
|
L
|
21
|
(-) NEGATIF
|
11
|
HR
|
L
|
24
|
(-) NEGATIF
|
12
|
MA
|
P
|
72
|
(+) POSITIF
|
13
|
MN
|
P
|
33
|
(-) NEGATIF
|
14
|
YM
|
L
|
21
|
(-) NEGATIF
|
15
|
FL
|
P
|
22
|
(-) NEGATIF
|
16
|
AST
|
P
|
59
|
(+)
POSITIF
|
17
|
SRT
|
P
|
33
|
(-)
NEGATIF
|
18
|
RPR
|
L
|
30
|
(-)
NEGATIF
|
19
|
MST
|
P
|
12
|
(-)
NEGATIF
|
20
|
MR
|
P
|
19
|
(-)
NEGATIF
|
21
|
SRY
|
P
|
30
|
(-)
NEGATIF
|
22
|
KR
|
L
|
68
|
(+)
POSITIF
|
23
|
SR
|
P
|
74
|
(+)
POSITIF
|
24
|
MBH
|
P
|
32
|
(-) NEGATIF
|
25
|
SPN
|
L
|
110
|
(+)
POSITIF
|
26
|
NA
|
P
|
36
|
(-)
NEGATIF
|
27
|
NH
|
L
|
66
|
(+) POSITIF
|
28
|
DN
|
P
|
28
|
(-)
NEGATIF
|
29
|
LN
|
L
|
26
|
(-) NEGATIF
|
30
|
KM
|
P
|
36
|
(-)
NEGATIF
|
31
|
SHN
|
P
|
77
|
(+)
POSITIF
|
32
|
AN
|
P
|
16
|
(-) NEGATIF
|
33
|
HU
|
L
|
18
|
(-)
NEGATIF
|
34
|
BNT
|
P
|
90
|
(+)
POSITIF
|
35
|
RP
|
P
|
30
|
(-)
NEGATIF
|
36
|
AY
|
L
|
34
|
(-) NEGATIF
|
37
|
MNK
|
L
|
32
|
(-)
NEGATIF
|
38
|
TZ
|
L
|
69
|
(+)
POSITIF
|
39
|
MK
|
P
|
30
|
(-) NEGATIF
|
40
|
SB
|
P
|
22
|
(-)
NEGATIF
|
Analisa
Data
Hasil dalam penelitian ini terdiri atas
2 analisis yaitu Analisis Univariat dan Analisis Bivariat, yang dirinci sebagai
berikut:
1.
Analisa Univariat
%
SGPT meningkat dengan HBsAg (+) = 12 40
×
100%
= 30 %
%
SGPT meningkat dengan HBsAg (-) = 6 40
×
100% = 15%
%
SGPT normal dengan HBsAg (+) = 0%
%
SGPT normal dengan HBsAg (-) = 22 40
×
100%
=
55%
Setelah dilakukan analisa data univariat
di dapat data sebagai berikut:
Tabel 2 Distribusi Pasien dengan SGPT
Normal dan hasil pemeriksaan HBsAg
SGPT
Normal dengan hasil HBsAg
|
Frekuensi
|
Persentase
(%)
|
(+)
positif
|
-
|
0%
|
(-)
negatif
|
22
|
55%
|
Keterangan: Berdasar
tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah hasil pemeriksaan SGPT yang normal
dengan hasil HBsAg positif adalah 0%, sedangkan hasil pemeriksaan SGPT normal
dengan hasil HBsAg negatif adalah 22 (55%).
Tabel
3 Distribusi
Pasien dengan SGPT Meningkat dan hasil pemeriksaan HBsAg
SGPT
meningkat dengan hasil HBsAg
|
Frekuensi
|
Persentase
(%)
|
(+)
positif
|
12
|
30%
|
(-)
negatif
|
6
|
15%
|
Keterangan:
Berdasar tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah
hasil pemeriksaan SGPT yang normal dengan HBsAg positif adalah 12 (30%).
Sedangkan jumlah hasil pemeriksaan SGPT meningkat dengan HBsAg positif adalah 6
(15%).
2.
Analisa Bivariat
Berdasarkan
analisa univariat pada tabel di atas maka diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 4. Hubungan SGPT dengan Hasil HBsAg
pada pemeriksaan hepatitis B
SGPT
|
Hasil
HBsAg
|
Jumlah Sampel
|
|
positif
|
negatif
|
||
Meningkat
|
12
|
6
|
18
|
Normal
|
-
|
22
|
22
|
Jumlah
|
12
|
28
|
40
|
Hasil perhitungan menunjukan bahwa. X2 hitung 17,898 dan X2 tabel 3,481.
Apabila hasil perhitungan X2hitung <
X2tabel ,
maka Ho diterima dan Ha ditolak, apabila hasil perhitungan X2 hitung > X2 tabel, Ha diterima (berati ada hubungan
peningkatan SGPT terhadap hasil HBsAg pada pasien hepatitis B) dan Ho ditolak
(tidak ada hubungan peningkatan SGPT
terhadap hasil HBsAg pada pasien hepatitis B).
Pembahasan
Gambar:
1 Pemriksaan SGPT
Keterangan:
Berdasarkan
gambar diatas dapat diketahui bahwa pemeriksaan SGPT normal dengan hasil HBsAg
positif sebanyak 0% dan hasil negative sebanyak 55%, sedangkan hasil SGPT
meningkat dengan hasil HBsAg positif sebanyak 30% dan hasil negatif sebanyak
55%.
Setelah
dilakukan analisa dan interprestasi mengenai hubungan peningkatan SGPT dengan
hasil HBsAg pada pasien hepatitis B di Rumah Sakit Marsudi Waluyo pada tahun 2011,
maka diperoleh hasil pemeriksaan SGPT meningkat dengan HBsAg positif 30%
ditemukan pada 12 orang, hasil pemeriksaan SGPT
meningkat dan HBsAg negatif 15% ditemukan pada 6 orang, hasil SGPT
normal dengan HBsAg positif 0%, dan hasil SGPT normal dengan HBsAg negatif 55%
ditemukan pada 22 orang. Setelah diperoleh hasil tersebut maka dapat dilakukan
uji hipotesis.
Untuk
dapat membuat keputusan tentang hipotesis, maka harga Chi Kuadrat thitung perlu
dibandingkan dengan Chi Kuadrat tabel dengan dk dan taraf kesalahan tertentu.
Dalam hal ini berlaku ketentuan (x 2
hitung
< x 2
tabel), maka Ho diterima dan apabila (x 2
hitung
> x 2
tabel), maka Ho ditolak.
Chi
Kuadrat tabel pada dk=1 dan taraf kesalahan 5% (0,05) dan x 2
tabel
= 3,481 sedangkan x 2
hitung
= 17,898,
sehingga x 2
hitung
> x 2
tabel. Berdasarkan hipotesis jika x 2
hitung > x 2
tabel, maka Ho ditolak artinya ada hubungan peningkatan SGPT dengan hasil
HBsAg pada pasien hepatitis B di Rumah Sakit Marsudi Waluyo pada tahun 2011.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan analisa data dan
pembahasan hasil mengenai hubungan
peningkatan SGPT
dengan hasil HBsAg pada pemeriksaan hepatitis B di Rumah Sakit Marsudi Waluyo
pada tahun 2011, maka dapat disimpulkan yaitu ada hubungan peningkatan SGPT dengan hasil HBsAg pada pasien
hepatitis B di Rumah Sakit Marsudi Waluyo pada tahun 2011.
Saran
Diharapkan Rumah Sakit menambah/memperbaiki
kualitas pemeriksaan Hepatitis dengan Alat yang lebih canggih dan lebih akurat.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam melakukan penelitian
selanjutnya dan dapat meneliti lebih jauh dengan variabel dan responden yang
lebih banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Nurul, dan Tonny, 2004, Konsensus Tatalaksana Hepatitis B
di Indonesia, Balai Penerbit FK UI, Jakarta
Anderson T.H Et al, 2000, Viral Hepatitis Part 2, The Hepatitis
Knowledge News Letter Vancove.12-19.
Baradero, Mary, dan Yakobus, 2008, Klien Gangguan Hati Seri Asuhan
Keperawatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Dalimartha, Setiawan.2002. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan
Hepatitis, Cetakan Ketujuh, Penebar
Swadaya, Jakarta
Frances K. Widmann, 1994, Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan
Laboratorium, alih bahasa oleh Siti Boedina Kresno, Ganda Soebrata, J. Latu,
dari buku asli Clinical Interprestation of Laboratory Test, Edisi 9, FKUI/RSCM,
diterbitkan EGC, Jakarta
Hermawan, Guntur, 2007, Perspektif
Masa Depan IMONOLOGI-INFEKSI, Lembaga Pengembangan pendidikan UNS, Surakarta
Kee, Joyce L, 1997, Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik
Dengan Implikasi Keperawatan, Edisi ke2, Buku kedokteran EGC, Jakarta
Kee, Joyce L, 2003, Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan
Diagnostic, Buku kedokteran EGC, Jakarta
Notoadmodjo, Soekidjo, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan,
PT.Rineka Cipta, Jakarta
Rachmatunnaim, Arum, 2011, Pemeriksaan HBsAg dengan Entebe RPHA Cell, http://sodiycxacun.blogspot.com/2011/02/pemeriksaan-hbsag-dengan-entebe-rpha.html
(30/7/10)
Sari, Indrawati, & Gin djing, 2008, Care Your Self Hepatitis,
Penebar Plus, Jakarta
Soemoharjo, Soewignjo, 2008, Hepatitis Virus B, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta
Soetedjo, 2007, Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil
Pemeriksaaan Laboratorium. Edisi revisi, Amara Books,Yogyakarta.
Suprayudi, Mei, 2007, Pedoman Praktikum Hematologi, Akademi Analis
Kesehatan Malang
Suyanto & Salamah, 2009, Riset Kebidanan Metodologi &
Aplikasi, Cetakan Keempat, Mitra Cendikia, Jogjakarta